REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Negara-negara non-Muslim seperti Korea Selatan dan Jepang semakin agresif mengembangkan industri halal dari hulu ke hilir. Padahal, kedua negara memulai dari nol tanpa populasi Muslim mayoritas. Sementara itu, Indonesia yang menjadi pasar Muslim terbesar dunia masih tertinggal dalam aspek produksi dan ekspor produk halal.
“Peningkatan signifikan dari Korea dan Jepang dalam sektor makanan, kosmetik, dan gaya hidup halal. Kedua negara juga mulai menjadikan wisata ramah Muslim sebagai bagian dari strategi nasional,” seperti tertulis dalam Laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 dikutip Rabu (9/7/2025).
Korea Selatan membidik pasar konsumen Muslim dunia dengan dua kekuatan utamanya yakni modest fashion dan kosmetik halal. Negara ini mencatat pertumbuhan ekspor produk kecantikan bersertifikat halal dan menghadirkan lini modest fashion yang menyesuaikan selera pasar Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Menurut SGIE, Korea mengintegrasikan teknologi, desain global, dan adaptasi syariah ke dalam produk ekspornya. Langkah ini membuat produk mereka bersaing di pasar yang selama ini didominasi negara OIC seperti Malaysia, Turki, dan Indonesia.
Sementara itu, Jepang memperkuat layanan ramah Muslim dengan memperluas sertifikasi restoran dan produk makanan halal, terutama di kota-kota besar dan destinasi wisata. Beberapa bandara utama seperti Narita dan Kansai kini memiliki ruang shalat dan restoran halal bersertifikat.
Dalam beberapa tahun terakhir, Jepang juga menyesuaikan produk khas seperti wagyu dan ramen dalam versi halal. Hotel dan agen perjalanan pun mulai menyediakan paket khusus Muslim traveller, termasuk kemudahan mencari makanan halal dan waktu salat.
Berbeda dengan tren di Jepang dan Korea, Indonesia justru masih dominan sebagai importir produk halal, terutama dari negara-negara non-OIC. SGIE menyebut Indonesia sebagai salah satu pasar terbesar, namun belum menjadi pemain utama di sektor ekspor halal.
RI memang unggul di beberapa indikator SGIE, seperti peringkat satu modest fashion, tapi nilai investasinya relatif kecil. Sepanjang 2023, sektor fesyen Muslim Indonesia hanya mencatat dua transaksi investasi senilai 0,3 juta dolar AS.
Laporan SGIE juga menekankan keunggulan dalam konsumsi tidak otomatis berarti keunggulan dalam produksi. Tanpa dorongan ekspor dan peningkatan kualitas industri dalam negeri, Indonesia hanya akan menjadi pasar potensial bagi produk halal asing.