Selasa 08 Jul 2025 14:28 WIB

Indonesia Harus Kuasai Ekspor Halal Jika Ingin Salip Malaysia

Pakar: Indonesia unggul investasi dan fesyen, tapi tertinggal di perdagangan halal.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Partner DinarStandard Reem El Shafaki, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar dan Wakil Presiden RI 2019–2024 KH Ma’ruf Amin usai peluncuran laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Foto: Dian Fath Risalah/Republika
Partner DinarStandard Reem El Shafaki, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar dan Wakil Presiden RI 2019–2024 KH Ma’ruf Amin usai peluncuran laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (8/7/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Lembaga riset internasional Dinar Standard memberikan catatan penting bagi Indonesia jika ingin naik dari posisi ketiga dalam Indeks Ekonomi Islam Global. Salah satu tantangan utama adalah masih rendahnya ekspor produk halal, yang menyebabkan Indonesia justru menjadi salah satu negara pengimpor halal terbesar.

“Indonesia memang masuk dalam 10 besar eksportir produk halal dunia, tapi juga berada di posisi keempat sebagai negara pengimpor terbesar. Artinya, ada defisit perdagangan halal yang harus segera diatasi,” ujar Partner Dinar Standard, Reem El Shafaki, dalam peluncuran laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 di Gedung Bappenas, Jakarta, Selasa (8/7/2025).

Baca Juga

Menurut Reem, defisit ini menjadi peluang besar yang bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat produksi halal dalam negeri. Apalagi, potensi pasar halal global terus tumbuh, sementara banyak negara non-Muslim justru menguasai pangsa ekspor.

“Lima eksportir halal terbesar saat ini bukan berasal dari negara-negara OKI, tapi dari China, India, Rusia, Brasil, dan Amerika Serikat. Indonesia harus menangkap peluang ini,” katanya.

Indonesia berhasil mempertahankan peringkat ketiga global dalam SGIE selama tiga tahun berturut-turut. Sejak pertama kali indikator ini diluncurkan pada 2014, Indonesia menunjukkan tren kenaikan yang konsisten. Saat itu, posisi Indonesia masih berada di urutan 10–11, sebelum naik ke lima, empat, dan kini stabil di posisi tiga.

Namun, Reem mengingatkan mempertahankan peringkat saja tidak cukup. Jika ingin melampaui Malaysia dan Arab Saudi yang kini berada di posisi satu dan dua, Indonesia perlu memperkuat sektor riil. “Ini adalah pencapaian, tapi juga titik evaluasi. Indonesia unggul dalam investasi dan fesyen, tapi masih belum optimal dalam ekspor halal,” tegasnya.

SGIE mencatat, Indonesia masih menempati peringkat pertama dunia dalam sektor fesyen Muslim (modest fashion), serta peringkat kedua untuk sektor pariwisata ramah Muslim dan kosmetik-farmasi halal.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement