Selasa 08 Jul 2025 14:47 WIB

Ekonomi Syariah RI Stagnan di Peringkat 3, SGIE Soroti Lemahnya Ekspor Halal

Potensi besar belum disertai kekuatan produk halal dan integrasi ekosistem.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
SGIE mencatat, Indonesia unggul di sektor fesyen Muslim dengan menempati peringkat kedua dunia dan berada di posisi keempat untuk keuangan syariah. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
SGIE mencatat, Indonesia unggul di sektor fesyen Muslim dengan menempati peringkat kedua dunia dan berada di posisi keempat untuk keuangan syariah. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia kembali menempati peringkat ketiga dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025 yang dirilis Selasa (8/7/2025). Meski masih bertahan di tiga besar dunia, kinerja Indonesia belum merata di seluruh sektor industri halal.

SGIE mencatat, Indonesia unggul di sektor fesyen Muslim dengan menempati peringkat kedua dunia dan berada di posisi keempat untuk keuangan syariah. Namun, pada sektor makanan halal, kosmetik halal, serta media dan hiburan Muslim, Indonesia berada di posisi keenam. Sementara itu, untuk sektor obat-obatan halal, Indonesia hanya menempati peringkat kedelapan.

Baca Juga

“Indonesia menempati peringkat ketiga dalam Indeks Ekonomi Islam Global (GIEI), menunjukkan stabilitas ekosistemnya dalam mengonversi ekonomi halal ke dalam pertumbuhan yang inklusif dan berbasis inovasi,” tulis laporan SGIE.

Sektor modest fashion menjadi satu-satunya bidang yang konsisten masuk dua besar global. Sementara itu, sektor lain yang menyentuh kebutuhan harian masyarakat belum menunjukkan daya saing yang kuat di pasar internasional.

Dari sisi investasi, Indonesia mencatat capaian penting. Sepanjang 2023, Indonesia menjadi negara dengan nilai investasi halal tertinggi di dunia, yakni sebesar 1,6 miliar dolar AS dari 40 transaksi. Angka tersebut melampaui Uni Emirat Arab yang berada di posisi kedua dengan investasi sebesar 1,53 miliar dolar AS.

Namun demikian, SGIE menilai sebagian besar investasi tersebut masih terkonsentrasi di sektor digital dan media Islami. Sektor-sektor strategis seperti kosmetik halal dan fesyen Muslim justru mencatat nilai investasi yang rendah, meskipun permintaan pasar terus meningkat.

Wakil Presiden RI 2019–2024, KH Ma’ruf Amin, menilai capaian ini belum mencerminkan kekuatan penuh ekonomi syariah Indonesia. Ia menyebut Indonesia memulai pengembangan ekonomi syariah dari posisi rendah dan kini mulai menunjukkan hasil.

“Kita memulai dari peringkat 10, lalu naik ke 8, 5, dan sekarang 3. Ke depan, kita ingin sampai ke peringkat pertama,” kata Ma’ruf saat ditemui di Gedung Bappenas.

Untuk mempercepat penguatan ekosistem, pemerintah berencana membentuk Badan Ekonomi Syariah yang akan menggantikan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). Lembaga baru ini dinilai lebih fleksibel dan dapat langsung menyentuh kegiatan ekonomi nyata.

“Kalau dulu pendekatannya birokratis, badan ini nanti akan lebih fleksibel dan langsung menyentuh kegiatan ekonomi nyata,” ujarnya.

Ia menambahkan, arah kebijakan ekonomi syariah kini lebih terintegrasi, bahkan telah masuk dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Pemerintah daerah juga akan dilibatkan untuk memperkuat pengembangan di tingkat lokal.

Ma’ruf menegaskan, ada empat fokus utama yang harus menjadi prioritas. Pertama, memperkuat industri halal seperti makanan, fesyen Muslim, kosmetik, dan musik Islami. Kedua, mendorong keuangan syariah agar lebih nyata mendukung sektor usaha riil. Ketiga, mengelola zakat dan wakaf secara lebih terintegrasi. Keempat, memberdayakan UMKM berbasis syariah agar dapat masuk ke rantai pasok industri halal.

“Industri halal ini akan kita bangun dari hulu ke hilir. Bukan cuma soal produk, tapi juga sertifikasi, distribusi, dan pembiayaan,” ujar Ma’ruf.

Sementara itu, Ketua Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC), Sapta Nirwandar, menilai potensi pasar halal global sangat besar dan Indonesia memiliki peluang yang besar pula. Namun, menurutnya, tantangan utama justru berasal dari dalam negeri.

“Ekosistem halal kita sudah mulai terbentuk, tapi masih perlu diperkuat agar antarsektor bisa saling terhubung. Strategi ekspor juga harus disesuaikan dengan karakter tiap pasar,” ujar Sapta.

Ia menjelaskan, konsumen produk halal tidak terbatas pada negara Islam. Pasarnya kini berkembang luas di Eropa, Amerika Latin, hingga Korea Selatan. Oleh karena itu, kualitas produk, kecepatan layanan, dan harga bersaing menjadi kunci utama.

SGIE menggarisbawahi tiga hal utama yang perlu dilakukan jika Indonesia ingin naik ke peringkat dua atau pertama. Pertama, standar halal nasional harus diselaraskan dengan standar internasional. Kedua, pembiayaan syariah harus diperluas ke sektor riil. Ketiga, digitalisasi perlu dioptimalkan untuk mendukung proses sertifikasi dan distribusi produk halal.

“Momentum sudah ada, tapi tidak boleh berhenti. Sekarang waktunya menyambungkan potensi dengan eksekusi,” tegas Ma’ruf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement