Selasa 25 Nov 2025 19:25 WIB
Feature

Susah Payah Bank Syariah Mendobrak Pangsa Pasar

Pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia per Agustus 2025 sebesar 7,44 persen.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Foto ilustrasi layanan bank syariah.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Foto ilustrasi layanan bank syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pangsa pasar (market share) perbankan syariah di Indonesia belum mengalami perkembangan signifikan setelah hadir selama tiga dekade di industri perbankan nasional. Berbagai upaya dilakukan untuk mendorong pertumbuhan pangsa pasar perbankan syariah agar bisa melompat lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan, hingga menembus psychological level 15–20 persen.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pangsa pasar perbankan syariah di Indonesia per Agustus 2025 sebesar 7,44 persen, dengan total aset mencapai Rp 975,94 triliun. Sejalan dengan itu, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK 2025, tingkat literasi keuangan syariah mencapai 43,42 persen, dengan tingkat inklusi keuangan syariah baru menembus angka 13,41 persen.

Baca Juga

“Lambatnya peningkatan market share itu, isunya lebih kepada isu struktural, di antaranya menyangkut soal skala usaha yang masih sangat minim,” kata Asisten Direktur di Direktorat Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK Reza Mustafa dalam diskusi PEBS WISE bertajuk “Peran Perbankan dan Keuangan Syariah Komersial dalam Penanggulangan Kemiskinan dan Pencapaian Target 8 Persen Pertumbuhan Ekonomi Nasional” yang digelar secara daring, Selasa (25/11/2025).

Reza mengungkapkan, dari belasan bank umum syariah yang ada, mayoritas masuk dalam kategori Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 1, yang artinya modal inti yang dimiliki masih rendah, yakni di bawah Rp 6 triliun.

Diketahui, KBMI merupakan klasifikasi bank berdasarkan besaran modal inti (core capital) yang berfungsi sebagai bantalan pertama dalam menyerap risiko serta menentukan kapasitas bank untuk tumbuh dan berinovasi. Berdasarkan POJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, pengelompokan KBMI terdiri atas empat kategori: KBMI 1 (modal inti sampai Rp 6 triliun), KBMI 2 (Rp 6–14 triliun), KBMI 3 (Rp 14–70 triliun), dan KBMI 4 (di atas Rp 70 triliun).

“Dari 14 bank umum syariah kita, 12-nya masuk di KBMI 1. Dari 12 bank umum syariah itu, tujuh di antaranya masih di bawah Rp 3 triliun. Yang di bawah Rp 6 triliun saja sudah struggling untuk berkompetisi dengan bank-bank di atas KBMI 1, apalagi masih ada yang di bawah Rp 3 triliun. Memang kalau skala usahanya rendah, impact-nya banyak,” jelasnya.

Reza menjelaskan, jika modal inti rendah, kapasitas bank untuk menyalurkan pembiayaan pun rendah karena adanya aturan regulator terkait kecukupan modal, yakni capital adequacy ratio (CAR) dan batas maksimum penyaluran dana (BMPD). Dengan minimnya modal, pertumbuhan aset pun terbatas.

Di samping itu, lanjutnya, KBMI 1 otomatis menawarkan pricing untuk Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan operasionalnya membutuhkan dana dan pembiayaan yang mahal. Belum lagi kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dinilai belum kompeten.

“Itu yang sebenarnya harus menjadi concern karena memang peningkatan skala usaha itu penting. Tidak bisa instan, pola-pola pengembangan dari sisi modal memang harus dipupuk secara konsisten, atau kita mencarikan investor strategic, atau ada konsolidasi,” ujarnya.

Reza menyebut pihaknya sudah mengakomodasi berbagai inisiatif taktis, yakni mendorong bank-bank syariah di KBMI 1 untuk bersinergi dengan induknya. Sebab, mayoritas bank syariah saat ini memiliki induk konvensional, dan rata-rata bank induk tersebut masuk kategori KBMI 3, yang secara pelayanan hingga SDM lebih memadai.

“Harusnya secara pelayanan dan kualitas SDM bisa ada pola yang bersinergi dengan induk, sehingga competitiveness level-nya bisa mendekati, jadi bank KBMI 1 tapi rasanya bisa KBMI 3. Ada POJK yang sudah mengakomodir itu, tetapi memang in reality masih banyak hambatan dalam implementasinya yang masih kita perjuangkan lagi,” terangnya.

Selain itu, Reza mengatakan selain kondisi permodalan minim, masalah produk juga menjadi salah satu fokus. Konsekuensi skala usaha rendah membuat bank syariah sulit menawarkan diversifikasi atau keunikan produk khas syariah.

Padahal, ketika produk syariah sama dengan konvensional, harganya cenderung lebih mahal sehingga lebih sulit menjangkau pasar.

“Beda halnya kalau misalnya kita meng-introduce produk yang memang unik, yang konvensional enggak bisa bikin. Makanya, beberapa inisiatif produk unik harusnya menjadi salah satu solusi, walaupun skala usahanya rendah tetapi bisa lari dari red ocean. Kalau kita mau ke arah sana, dibutuhkan inovasi dan keberanian dari sisi bankers-bankers syariah, yang memang tuntutannya jadi tinggi sih,” jelasnya.

Dengan adanya produk unik seperti ziswaf, investment account, dan cash waqf linked deposit (CWLD), pengelolaannya pun berisiko lebih tinggi sehingga membutuhkan pola pikir inovatif dan berani.

Reza menekankan, upaya OJK dengan menerbitkan POJK Nomor 12 Tahun 2023 tentang Unit Usaha Syariah (UUS) diharapkan dapat mendorong sinergi bank syariah dengan induknya untuk tumbuh lebih menggeliat.

photo
(Ilustrasi) Layanan bank syariah di salah satu stan bank syariah pada gelaran ISEF 2025 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (9/10/2025). - (Republika/Thoudy Badai)

Itu pula yang terjadi di Malaysia, negara dengan perkembangan ekonomi syariah terdepan. Di sana, pengembangan bank syariah berasal dari induknya sesuai amanat regulator, sehingga pangsa pasar perbankan syariah terus bertumbuh hingga mencapai 30 persen dari total aset perbankan.

Lebih lanjut, Reza mengungkapkan Indonesia memiliki target untuk mengerek pangsa pasar perbankan syariah. Setidaknya Indonesia perlu mencapai threshold-nya terlebih dahulu untuk bisa tumbuh lebih tinggi ke depan.

“Kami pernah bikin mini research mengenai threshold pangsa pasar perbankan syariah. Rata-rata memang kalau di beberapa negara, kalau sudah mencapai 15 persen biasanya sudah terakselerasi. Nah, kita memang perlu struggling untuk bisa mencapai, paling tidak psychologic number-nya itu di 15 persen atau 20 persen lah. Kalau sudah sampai sana tuh sudah lumayan bisa meng-influence market,” ungkap Reza.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement