REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah menempatkan dana Rp200 triliun di bank Himbara, termasuk Bank Syariah Indonesia (BSI), untuk memperkuat likuiditas dan mendorong pembiayaan sektor produktif. Meski demikian, kebijakan ini dinilai perlu pengawasan ketat agar tak sekadar mengejar target kredit.
“Kebijakan ini memperkuat likuiditas, efisiensi, dan financial inclusion di daerah,” ujar Kepala CSED INDEF Nur Hidayah dalam Diskusi Publik Evaluasi Ekonomi Syariah di 1 Tahun Pemerintahan Prabowo yang diikuti secara daring, Rabu (15/10/2025).
Penempatan dana dalam bentuk deposit on call berbunga 80–85 persen dari BI Rate memberi ruang ekspansi pembiayaan syariah dengan risiko likuiditas rendah. Hingga September 2025, realisasi penyaluran mencapai 55 persen, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional 6 persen pada 2026.
Menurut Nur, likuiditas tambahan itu membuat margin pembiayaan seperti murabahah, ijarah, dan musyarakah lebih kompetitif. BSI pun mencatat pertumbuhan pembiayaan 8,13 persen (year-on-year) per September 2025, melampaui bank konvensional yang tumbuh 7,03 persen.
Aset BSI mencapai Rp401 triliun dengan laba bersih Rp3,74 triliun atau naik 10,21 persen. Kinerja positif itu memperlihatkan peran dana pemerintah dalam menekan biaya dana sekaligus memperluas akses pembiayaan halal bagi pelaku usaha kecil.
