REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Senior INDEF, Abdul Hakam Naja, menegaskan pariwisata sebaiknya dikembangkan dengan pendekatan ramah muslim. Ia menilai istilah ini lebih tepat dibandingkan “wisata halal” yang kerap menimbulkan salah paham.
“Sektor pariwisata juga menyinggung ‘wisata ramah muslim’ (Muslim-friendly tourism). Istilah ini lebih tepat dibandingkan ‘wisata halal’, karena menekankan fasilitas ramah bagi wisatawan muslim tanpa menimbulkan kesalahpahaman,” ujar Hakam dalam Diskusi Publik “Ekonomi Syariah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026”, Senin (25/8/2025).
Potensi sektor ini sangat besar. Berdasarkan State of the Global Islamic Economy Report (SGIE) 2024/25, belanja global Muslim-friendly travel pada 2023 mencapai 225 miliar dolar AS dan diproyeksikan naik menjadi 257 miliar dolar AS pada 2028. Jumlah wisatawan muslim dunia juga diperkirakan tumbuh hingga 230 juta orang pada 2028.
Indonesia sendiri berada di peringkat lima dunia untuk sektor Muslim-friendly travel menurut Global Islamic Economy Indicator (GIEI) 2024. Posisi ini menunjukkan Indonesia berpeluang besar jika mampu memperkuat ekosistem pariwisata ramah muslim, mulai dari kuliner halal hingga penyediaan fasilitas ibadah di destinasi wisata.
Hakam menambahkan, penguatan pariwisata ramah muslim juga dapat menopang UMKM dan industri halal. “Pada akhirnya, agar ekonomi syariah berperan strategis dalam RAPBN, ada lima langkah penting. Salah satunya membangun ekosistem ekonomi syariah yang juga mencakup pariwisata ramah muslim sebagai sektor unggulan,” ucapnya.