REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dari dapur sederhana di Banda Aceh, aroma kue basah buatan Ita Risna menjadi saksi ekonomi syariah bukan lagi konsep di atas kertas. Setiap loyang yang keluar dari ovennya adalah hasil nyata pembiayaan syariah yang mengubah keterbatasan menjadi keberdayaan.
“Dulu bingung cari modal, sekarang lebih mudah mengelola usaha. Alhamdulillah, usaha kami bertahan dan berkembang,” ujar Ita kepada Republika beberapa waktu lalu.
Dukungan pembiayaan syariah membuat Ita tak hanya bisa menambah bahan baku, tetapi juga mempekerjakan ibu-ibu di sekitarnya untuk memenuhi pesanan. Terutama jika ada pesanan besar seperti hajatan pernikahan.
Di Lombok, Sukarni, pedagang perhiasan mutiara, merasakan hal serupa. “Akses modal syariah membantu saya memperluas toko dan menambah stok barang,” ujarnya.
Cerita seperti Ita dan Sukarni, menggambarkan makna sejati inklusi keuangan, kehadiran sistem yang menyentuh masyarakat kecil tanpa mengorbankan nilai-nilai syariah.
Namun, tidak semua pelaku usaha memiliki kepercayaan serupa. Cindy, pengusaha busana di Tangerang, mengaku masih ragu. “Bahasa produknya sulit dipahami, terasa ribet,” katanya.
Kisah Cindy memperlihatkan tantangan besar, literasi tinggi belum tentu berarti inklusi. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 mencatat literasi keuangan syariah 43,42 persen, tetapi inklusinya hanya 13,41 persen-jauh di bawah keuangan konvensional yang mencapai 79,71 persen.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar menyebut kondisi itu sebagai anomali yang tak boleh dibiarkan. “Angka literasi yang tiga kali lipat lebih tinggi dari inklusi adalah hal luar biasa dan harus segera ditangani,” katanya. Menurut Mahendra, akar persoalan bukan pada pemahaman, melainkan pada ketersediaan akses yang belum merata di seluruh lapisan masyarakat.
Di tengah tantangan itu, OJK justru melihat momentum pertumbuhan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebut industri keuangan syariah nasional terus menunjukkan tren positif.
“Per Juni 2025, total aset keuangan syariah nasional mencapai Rp2.972,94 triliun atau tumbuh 8,21 persen year on year (yoy), dengan pangsa pasar 11,47 persen terhadap industri keuangan nasional,” katanya dalam forum industri perbankan syariah di Aceh, September lalu.
Aset perbankan syariah meningkat 7,83 persen menjadi Rp967,33 triliun, melampaui pertumbuhan perbankan konvensional. Pasar modal syariah tumbuh 8,23 persen menjadi Rp1.828,25 triliun, sementara industri keuangan nonbank syariah naik 10,20 persen menjadi Rp177,32 triliun.
“Pertumbuhan ini terjadi di tengah ketidakpastian global, sekaligus membuka peluang besar bagi perbankan syariah untuk mendukung perekonomian domestik,” ujar Dian.