REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia memiliki pasar halal yang besar, namun belum mampu tampil sebagai produsen global. Ekonom Senior INDEF Abdul Hakam Naja menyoroti hal tersebut dalam Diskusi Publik Ekonomi Syariah dalam Nota Keuangan RAPBN 2026, Senin (25/8/2025).
“Kalau hanya disebut sekilas, bagaimana ekonomi syariah bisa berkembang jadi kekuatan nyata?” ujar Hakam.
Jumlah penduduk Muslim dunia diproyeksikan mencapai 2,8 miliar jiwa pada 2050 atau hampir 30 persen populasi global. Indonesia menyumbang sekitar 240 juta jiwa atau 12 persen dari total tersebut. Belanja umat Islam global mencapai 2,43 triliun dolar AS atau sekitar Rp39.441 triliun, hampir dua kali lipat PDB Indonesia dan sepuluh kali lipat APBN.
“Ini potensi besar yang seharusnya mendapat perhatian dalam penyusunan RAPBN kita,” kata Hakam.
Pasar halal dunia terbagi enam sektor, yakni makanan halal, farmasi dan kosmetik, fesyen, pariwisata, media dan kreasi, serta keuangan syariah. Indonesia menjadi juara dunia di sektor modest fashion dengan nilai pasar 326 miliar dolar AS. Produk lokal seperti Zoya dan Wardah telah menembus pasar global.
Namun, Indonesia masih tertinggal dalam ekspor produk halal. Negara pengekspor utama adalah Cina, India, Brasil, Rusia, dan Amerika Serikat, sementara Indonesia justru berada di kelompok importir bersama Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Turki. Defisit perdagangan halal Indonesia pada 2023 tercatat sebesar 17,31 miliar dolar AS.
“Kalau mau jadi pusat halal dunia, jangan hanya jargon. Anggaran dan kebijakan harus ikut mengarah ke sana,” tegas Hakam.
Ia menekankan pentingnya hilirisasi produk halal, penguatan industri, serta akses pembiayaan syariah bagi UMKM. “Jangan berhenti di branding. Harus ada roadmap fiskal dan pembiayaan syariah yang jelas, supaya kita bisa benar-benar jadi produsen halal,” tambahnya.
Menurut Hakam, Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin ekonomi syariah global. Dengan jumlah penduduk Muslim terbesar dan PDB tertinggi di antara negara anggota OKI, seharusnya Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia. Namun, perhatian eksplisit dalam RAPBN 2026 masih minim. Dari 506 singkatan dalam RAPBN, hanya lima yang terkait langsung, yakni CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk), Islamic Development Bank, SBSN, Sukuk Tabungan, dan Sukuk Ritel.
“Malaysia itu jelas. Ada roadmap, ada dukungan fiskal, ada pembiayaan yang nyambung dengan industrinya. Kita di Indonesia baru bicara besar, tapi eksekusinya kecil,” ujar Hakam.