Rabu 10 Sep 2025 18:30 WIB

CSED Indef Catat Lima Tantangan Integrasi Ekonomi dan Keuangan Syariah di Indonesia

Indonesia menduduki peringkat tujuh dunia.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef Nur Hidayah dalam diskusi publik bertajuk Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban yang digelar secara virtual, Rabu (10/9/2025).
Foto: Eva Rianti/Republika
Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef Nur Hidayah dalam diskusi publik bertajuk Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban yang digelar secara virtual, Rabu (10/9/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef Nur Hidayah mengungkapkan ada sejumlah tantangan yang dihadap dalam upaya pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Tanah Air. Mulai dari pangsa pasar yang masih minim, hingga implementasi daerah yang belum merata. 

“Ada beberapa tantangan utama dalam integrasi ekonomi dan keuangan syariah dalam kebijakan-kebijakan Pemerintah baik di level nasional maupun di daerah. Pertama, tentu saja pangsa pasar yang kecil dari keuangan syariah, hanya 7 persen dari total nasional,” kata Nur dalam diskusi publik bertajuk ‘Demo Cermin Kesenjangan, Ekonomi Syariah Memberi Jawaban’ yang digelar secara virtual, Rabu (10/9/2025).

Baca Juga

Di samping pangsa pasar yang masih single digit, Indonesia menduduki peringkat tujuh dunia. Yang artinya masih cukup tertinggal dengan statusnya sebagai negara dengan penduduk muslim mayoritas (lebih dari 86 persen).

“Tantangan kedua, dana sosial Islam belum optimal. Ada gap antara potensi dan realisasi, baik di zakat maupun juga wakaf uang. Kontribusi zakat via Baznas/LAZ hanya 1 persen ke APBN, jadi masih underutilized,” ujarnya.

Tantangan ketiga, belum terintegrasi dengan program prioritas. Nur menyebut, program keluarga harapan (PKH), sembako, UMKM, dan kesehatan sesungguhnya selaras dengan maqashid syariah, namun narasi syariah belum eksplisit, sehingga terkesan sangat simbolik.

“Kemudian (tantangan keempat) wacana penggunaan zakat dan APBD untuk program nasional. Usulan MBG (makan bergizi gratis) dibiayai zakat telah menuai pro kontra. Tapi sesungguhnya esensinya adalah publik menginginkan tata kelola dana sosial itu dikelola secara transparan dan akuntabilitas,” tuturnya. 

Terakhir, impementasi daerah belum merata. Nur mengatakan, di Aceh misalnya, zakat sudah jadi pendapatan asli daerah (PAD), sedangkan di daerah-daerah lain integrasinya masih belum terlihat. Hal itu karena memang Aceh memberlakukan syariat Islam, sementara di daerah-daerah lain sifatnya masih imbauan dan belum menjadi arus utama. 

“Jadi menurut kami perlu ada pengembangan best practices yang sudah dilakukan oleh beberapa daerah, seperti Bank Aceh Syariah dan Kredit Mesra Jabar yang melalui masjid,” kata Nur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement