REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Manajemen Risiko PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI, kode saham: BRIS) Grandhis Helmi Harumansyah mengatakan penyaluran pembiayaan BSI akan tumbuh 15 persen secara tahunan sepanjang 2023.
“Secara historis pembiayaan kami terus tumbuh double digit. Jadi sampai akhir tahun mendatang pembiayaan kami proyeksikan masih berada di kisaran kurang lebih sekitar 15 persen,” kata Grandhis dalam konferensi pers daring di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Dalam menyalurkan pembiayaan, BSI tetap sejalan dengan prinsip syariah dari hulu hingga hilirnya, baik dari sisi layanan, pengembangan produk, maupun mitigasi risiko. Grandhis menyampaikan bahwa dalam mencapai target pertumbuhan pembiayaan BSI terus fokus pada target pasar yang telah ditetapkan.
“Kami menggunakan digitalisasi dalam proses-prosesnya dan melakukan monitoring berkala untuk aset-aset pembiayaan yang sudah kami lakukan. Untuk portofolio guideline-nya, kami review periodically,” katanya.
Sampai kuartal III 2023, BSI tercatat telah menyalurkan pembiayaan senilai Rp 232 triliun atau tumbuh 15,94 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai Rp 200 triliun. Senilai Rp 53,6 triliun atau 23,77 persen dari total pembiayaan disalurkan kepada sektor-sektor untuk mendukung keberlanjutan lingkungan.
Secara rinci senilai Rp 43,4 triliun disalurkan kepada usaha mikro,kecil, dan menengah (UMKM), Rp 4,9 triliun untuk agrikultur berkelanjutan, Rp 3,3 triliun untuk produk ekofisien, Rp 1,4 triliun untuk energi baru dan terbarukan (EBT), dan Rp 0,6 triliun untuk sektor hijau lain.
“Dalam menyalurkan pembiayaan berprinsip ESG (Environment, Social, and Good Governance), kami bekerja sama dengan stake holder, OJK, ESDM, KLHK, BEI. Kami juga mengomunikasikan dengan publik dan investor baik di dalam maupun di luar negeri,” kata Direktur Kepatuhan & SDM BSI Tribuana Tunggadewi menambahkan.
Ke depan BSI akan terus meningkatkan literasi dan kesadaran nasabah korporasi untuk membuat usahanya lebih ramah lingkungan. “Terutama pada sektor-sektor yang memang memerlukan sertifikasi atau standar analisa dampak lingkungan seperti sektor kelapa sawit, pertambangan, maupun industri manufaktur lainnya,” katanya.