REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF menyampaikan keprihatinan atas kontribusi ekonomi syariah terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang masih berada di bawah 10 persen, meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Kepala CSED INDEF, Prof Nur Hidayah, menilai rendahnya kontribusi tersebut mencerminkan belum adanya kebijakan sistemik yang mampu mengorkestrasi potensi besar ekonomi syariah di Tanah Air.
“Kita tidak kekurangan inisiatif, tapi kurang arah kebijakan yang utuh. Ekonomi syariah harus menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional, bukan hanya jargon sektoral,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (14/5/2025).
Menjelang Muktamar Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) 2025, INDEF memetakan sejumlah persoalan utama yang menghambat perkembangan sektor ini. Pangsa pasar perbankan syariah, misalnya, masih stagnan di angka 6,7 persen per 2024 (OJK), dan belum menjangkau sektor produktif seperti pertanian, maritim, serta industri halal.
Pemanfaatan dana sosial syariah seperti zakat, infak, dan wakaf (ZISWAF) juga masih minim. Menurut data BAZNAS, kontribusi ZISWAF terhadap pembangunan nasional hanya 3,2 persen dari potensi Rp 327 triliun.
“ZISWAF bisa menjadi quasi-public fund yang menopang pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi hijau, jika dikelola dalam kerangka fiskal nasional,” tegas Prof Nur.
INDEF mendorong agar Muktamar IAEI 2025 menjadi titik balik untuk menyusun Grand Strategy Ekonomi Syariah 2025–2035 yang terintegrasi dengan RPJPN, RPJMN, hingga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Peneliti CSED INDEF, Handi Risza, mengusulkan pembentukan Kementerian Ekonomi Syariah atau unit khusus di bawah Presiden untuk mengawal sektor ini secara intensif. Ia juga menekankan pentingnya integrasi sertifikasi halal, pembiayaan syariah, dan distribusi produk melalui rantai pasok digital.
“Harus ada fiscal linkage antara ZISWAF dan program pengentasan kemiskinan, pengembangan UMKM, serta ekonomi hijau,” ungkapnya.
Handi juga menyarankan percepatan regulasi untuk Open Banking Syariah, penerapan smart contract, serta pemanfaatan AI dan blockchain berbasis maqashid syariah.
Sementara itu, peneliti CSED lainnya, Abdul Hakam Naja, mengingatkan bahwa posisi Indonesia masih tertinggal dari Malaysia dan Arab Saudi dalam laporan State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) 2023/2024.
“Padahal kita unggul dari sisi jumlah lembaga dan ekosistem pendidikan ekonomi syariah. Tapi di lapangan, kontribusinya belum terasa,” ujarnya.
Tingkat kewirausahaan Indonesia yang baru mencapai 3,35 persen—lebih rendah dari Singapura (8,76 persen) dan Malaysia (4,74 persen)—juga menjadi tantangan tersendiri.
“Selama ekonomi syariah hanya jadi pelengkap, bukan sektor strategis, kontribusinya akan tetap stagnan,” tambah Abdul.
CSED INDEF menekankan perlunya regenerasi kepemimpinan yang adaptif terhadap arus digitalisasi dan globalisasi. Mereka menyarankan agar ekonomi syariah diposisikan sebagai infant industry yang mendapat insentif dan perlindungan khusus demi percepatan pertumbuhan.