REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO Globothink Consultants Australia, Irshad A Cader menekankan pentingnya digitalisasi sebagai faktor kunci dalam pengembangan industri halal. Menurutnya, transformasi digital bukan hanya pilihan, tetapi suatu keharusan bagi industri halal untuk tetap relevan dan kompetitif di pasar global.
Ia menjelaskan, kemajuan teknologi menawarkan peluang besar bagi bisnis halal untuk memperluas jangkauan pasar mereka. "Platform digital, termasuk e-commerce dan media sosial, memungkinkan kita untuk memperkenalkan produk halal kepada audiens yang lebih luas dan membangun kesadaran akan nilai-nilai halal," ujarnya dalam acara 6th Indonesia International Halal Lifestyle (INHALIFE) Conference 2024, Kamis (31/10/2024).
Cader juga menggarisbawahi pentingnya integrasi teknologi dalam rantai pasokan. Dengan sistem berbasis teknologi, dapat meningkatkan transparansi dan memastikan produk yang diklaim halal benar-benar memenuhi standar yang ditetapkan. “Ini akan membangun kepercayaan konsumen dan meningkatkan loyalitas terhadap merek," jelasnya.
Senada dengan Cader, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Juda Agung juga menekankan pentingnya digitalisasi dalam industri halal. "Saat ini, kita berada di persimpangan antara pasar halal global yang terus berkembang dan kecepatan transformasi digital yang belum pernah terjadi sebelumnya," ungkapnya.
Juda merujuk pada laporan SGIE 2023 yang memperkirakan permintaan produk halal akan mencapai 3,1 triliun dolar AS pada 2027. "Digitalisasi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Melalui transformasi digital, kita dapat memperluas jangkauan bisnis halal dan melayani konsumen secara lebih efektif," tegasnya.
Ia menyoroti beberapa inisiatif strategis, termasuk pemanfaatan e-commerce dan sistem pembayaran QRIS untuk mempermudah transaksi bagi pelaku bisnis. "Kami bertujuan untuk membangun ekonomi halal di mana setiap transaksi dan sertifikasi didukung oleh teknologi yang dapat dipercaya oleh konsumen," ujarnya.