Senin 21 Jul 2025 13:47 WIB

Muhammadiyah tak Mau Buru-Buru Bikin Bank Umum Syariah, Ini Alasannya

Animo warga Muhammadiyah dinilai sangat tinggi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas.
Foto: Darmawan/Republika
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas menegaskan, pihaknya tidak akan tergesa-gesa mengikuti dorongan pendirian Bank Umum Syariah (BUS). Alasannya, syarat modal Rp10 triliun dan kompleksitas manajerial dianggap tidak sebanding dengan manfaat yang diterima umat.

“Modalnya Rp10 triliun menurut saya tidak fair. Kalau UUS bisa Rp3 triliun, kok konversi BPRS harus Rp 10 triliun?,” ujar Anwar dalam wawancara bersama Republika di Gedung PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025).

Baca Juga

Muhammadiyah sendiri saat ini telah memiliki jaringan BPRS yang cukup kuat dan tersebar di sejumlah wilayah. Salah satunya adalah Bank Syariah Matahari, hasil konversi dari BPR konvensional yang telah berdiri sejak 1991. Bank ini diposisikan bukan hanya sebagai lembaga keuangan, tapi juga simbol perjuangan ekonomi umat.

Nama "Matahari" merujuk langsung pada simbol Persyarikatan Muhammadiyah. “Matahari itu simbolnya Muhammadiyah. Dalam mars kita disebut: 'Sang Surya tetap bersinar… menuju masyarakat utama, adil dan makmur'," kata Anwar.

“Itu bukan sekadar lambang, tapi visi. Menyinari dari bawah, dari akar umat,” lanjutnya. Ia menegaskan, mendirikan BUS dengan orientasi konglomerasi justru berisiko menanggalkan misi melayani sektor riil dan UMKM. “Kalau BUS besar, pasti akan kejar usaha besar. Sementara usaha kecil jadi tidak terurus,” ujarnya.

Anwar juga mengingatkan keterbatasan aturan perbankan, termasuk Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), membuat pendirian BUS tak otomatis memperluas daya dukung. “Modal Rp10 triliun hanya bisa dikasih ke satu grup 10 persen. Sementara pembiayaan Muhammadiyah sendiri ke bank itu sekitar Rp 5 triliun per tahun,” kata dia.

Menurutnya, pembentukan BUS juga belum tentu memberi keuntungan langsung bagi persyarikatan. "Kalau BPRS-BPRS bergabung, duitnya bertambah. Tapi tak bisa diambil. Dividen juga tidak langsung dirasakan,” tuturnya.

Dorongan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memperkuat industri keuangan syariah, termasuk melalui POJK Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tata Kelola Syariah bagi BUS dan UUS, diakui Anwar penting. Namun, ia menilai semangat regulasi harus diimbangi keberpihakan pada entitas kecil seperti BPRS.

“Kalau aturannya hanya berpihak pada yang besar, siapa yang bela rakyat? BPRS ini jangkar ekonomi rakyat,” tegasnya.

POJK 2/2024 memang menekankan penguatan struktur Dewan Pengawas Syariah (DPS), pelaporan ketaatan syariah, dan integrasi tata kelola syariah dalam operasional BUS dan UUS. Namun belum ada perlakuan afirmatif untuk BPRS yang justru lebih dekat dengan sektor informal dan UMKM.

Anwar pun mendesak agar OJK tidak hanya mendorong merger dan pembentukan bank besar, tetapi juga mendukung inisiatif akar rumput. “Kalau mau bela rakyat, bantu dari permodalan. Dari mana? Dari BPRS,” katanya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla telah menyarankan Muhammadiyah untuk tidak mendirikan bank sendiri, melainkan menjalin kerja sama strategis dengan bank yang sudah ada. “Pak JK bilang, lebih baik kerja sama. Kelola bank itu tidak gampang. Kalau kredit macet, siapa tanggung?” ujar Anwar.

Meski demikian, animo warga Muhammadiyah terhadap bank syariah milik sendiri disebut sangat tinggi. “Desakannya luar biasa. Saya malah capek. Tapi semangat itu jangan sampai bikin kita lupa hitung-hitungan,” tambahnya.

Saat ini, Muhammadiyah tengah mendorong konsolidasi internal BPRS-BPRS miliknya, termasuk merger dua BPRS di Yogyakarta dan Semarang dengan total aset hampir Rp 500 miliar. Strategi ini dianggap realistis ketimbang mendirikan BUS baru dari nol.

“Kalau sudah bagus, biasanya yang lain ikut. Saya maunya bertahap. Kita kuatkan dari bawah dulu,” ungkap Anwar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement