Senin 07 Jul 2025 21:44 WIB

Aset Keuangan Syariah Global Melejit, Tapi Indonesia Masih Terjebak di Zona Nyaman Perbankan

Nilai total aset naik hampir 15 persen dan tembus 3.880 miliar dolar AS pada 2024.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Pengunjung memadati acara pameran BSI International Expo 2025 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (26/6/2025). BSI International Expo 2025 yang digelar oleh Bank Syariah Indonesia bersama Danantara kali ini mengusung tema Engaging Indonesia in the Global Halal Industry yang menyajikan beragam pameran produk dari 330 pelaku UMKM binaan BSI, layanan haji umrah hingga pameran keuangan syariah yang diharapkan dapat memperkuat ekosistem ekonomi syariah menuju Indonesia Pemimpin Ekosistem Halal Global. Pameran tersebut berlangsung selama tiga hari pada 26-29 Juni mendatang.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengunjung memadati acara pameran BSI International Expo 2025 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Kamis (26/6/2025). BSI International Expo 2025 yang digelar oleh Bank Syariah Indonesia bersama Danantara kali ini mengusung tema Engaging Indonesia in the Global Halal Industry yang menyajikan beragam pameran produk dari 330 pelaku UMKM binaan BSI, layanan haji umrah hingga pameran keuangan syariah yang diharapkan dapat memperkuat ekosistem ekonomi syariah menuju Indonesia Pemimpin Ekosistem Halal Global. Pameran tersebut berlangsung selama tiga hari pada 26-29 Juni mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Industri keuangan syariah dunia sedang tumbuh pesat. Nilai total asetnya naik hampir 15 persen dan tembus 3.880 miliar dolar AS pada 2024. Namun, menurut laporan IFSI Stability Report 2025, pertumbuhan itu masih berat sebelah atau terlalu bergantung pada bank, sementara sektor lain seperti sukuk dan asuransi syariah masih kurang berkembang, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

“Total aset perbankan syariah menyumbang 71,6 persen dari IFSI, jauh di atas sukuk 23,3 persen dan asuransi syariah 1,4 persen,” tulis Islamic Financial Services Board (IFSB), Ahad (7/7/2025).

Baca Juga

Di Indonesia, kondisi ini terlihat jelas. Bank-bank syariah berkembang, tapi pasar modal dan asuransi syariah belum banyak dilirik. Padahal, sektor sukuk dan asuransi juga punya potensi besar dan pertumbuhannya secara global terus meningkat—masing-masing naik 25,6 persen dan 16,9 persen sepanjang 2024.

“Keterbatasan instrumen investasi dan likuiditas syariah melemahkan fungsi sukuk sebagai alat stabilitas sistem keuangan dan pengelolaan likuiditas,” tulis IFSB.

Masalah lainnya, bank syariah masih terlalu bergantung pada dana simpanan jangka pendek. Akses ke pembiayaan jangka panjang dari pasar modal masih terbatas. Ini membuat bank sulit untuk tumbuh lebih fleksibel dan kuat menghadapi tekanan ekonomi.

Struktur pembiayaan yang digunakan pun masih banyak mengandalkan skema commodity murabahah (CM), yang menurut IFSB sudah mulai menyerupai sistem utang konvensional.

“Total simpanan berbasis CM mencapai 512 miliar dolar AS per kuartal II 2024, tumbuh 41 persen per tahun sejak 2022,” tulis laporan tersebut.

Menurut Pakar Ekonomi Syariah Ronald Rulindo, meski Indonesia punya landasan hukum dan kelembagaan yang cukup, gebrakan nyata belum terlihat. “Kalau untuk Islamic finance, belum ada gebrakan baru yang terlihat walaupun sudah ada UU P2SK yang memberikan beberapa fleksibilitas,” ujarnya.

Ronald juga menyayangkan kurangnya fokus pemerintah terhadap topik keuangan syariah dalam kerja sama internasional. “Dari kunjungan Presiden ke Saudi, banyak kesepakatan yang tercapai. Tapi topik keuangan syariah dan industri halal tidak terlihat dalam poin-poin yang diliput media,” ujarnya.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala CSED INDEF Prof Nur Hidayah menambahkan, generasi Muslim muda saat ini makin memilih layanan digital, berkelanjutan, dan berbasis nilai. “Perpaduan antara gaya hidup digital Muslim dan layanan keuangan syariah yang inovatif akan jadi tren besar ke depan,” ujarnya.

Agar sistem keuangan syariah lebih kuat dan merata, IFSB mendorong negara seperti Indonesia untuk rutin menerbitkan sukuk dalam rupiah, memperbanyak tenor, dan membentuk kurva imbal hasil sebagai acuan pasar. Penyederhanaan struktur sukuk dan peningkatan infrastruktur perdagangan juga penting agar pasar lebih likuid dan efisien.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement