REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui undang-undang nomor 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal (JPH) mewajibkan produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Dzikro mengatakan aturan ini mengubah paradigma mengenai ketentuan sertifikasi halal terhadap produk barang dan jasa di Indonesia.
"Sebelumnya penyelenggaraan JPH bersifat sukarela, namun dengan disahkannya UU nomor 3 tahun 2014 kini bersifat wajib dan diselenggarakan oleh pemerintah," ujar Dzikro saat diskusi Halal Business Forum bertajuk 'Menyatukan Tekad Sinergitas, Mewujudkan Indonesia Produsen Halal dan Syariah Dunia' di Jakarta, Kamis (27/6/2024).
Dzikro menyampaikan kewajiban sertifikasi halal akan berlangsung secara bertahap. Terdekat, pemerintah mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan mulai 17 Oktober 2024.
Dzikro menyampaikan waktu kewajiban sertifikasi halal untuk produk lain bervariasi, seperti produk obat: kategori obat tradisional, obat kuasi, dan suplemen kesehatan; kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetik, barang gunaan dengan kategori sandang, penutup kepala, aksesoris; peralatan rumah tangga, peralatan perkantoran, hingga barang gunaan kategori alat kesehatan risiko kelas A yang baru berlaku pada 17 Oktober 2026.
Sementara produk obat bebas dan barang gunaan kategori alat kesehatan kelas B yang berlaku pada 17 Oktober 2029; serta obat keras dikecualikan psikotropika dan barang gunaan yang dimanfaatkan kategori alat kesehatan kelas C yang akan berlaku pada 17 Oktober 2034.
"Regulasi ini juga mengatur tentang produk yang mengandung bahan haram punya kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal," ucap dia.
Dzikro mengatakan kewajiban sertifikasi halal mulai 17 Oktober 2024 tidak berlaku bagi seluruh pelaku usaha. Dzikro menyampaikan kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) untuk produk makanan dan minuman; bahan baku, bahan tambahan pangan dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman; serta hasil sembelihan dan jasa penyembelihan baru akan berlaku dua tahun mendatang.
"Khusus untuk UMK dalam rapat terbatas pada 15 Mei lalu dimundurkan oleh Bapak Presiden terkait kewajiban sertifikasi halal sampai 2026. Ini bentuk keberpihakan pemerintah kepada pelaku UMK," lanjut Dzikro.
Dzikro menambahkan kewajiban sertifikasi halal memiliki sejumlah manfaat bagi pelaku usaha maupun ekonomi Indonesia. Dengan bersertifikasi halal, Dzikro menyebut akan memberikan nilai tambah dan brand image dari produk tersebut.
"Manfaat utamanya tentu pelaku usaha dapat terhindar dari sanksi dan dapat sejumlah manfaat bagi usahanya tersebut," sambung Dzikro.
Selain itu, Dzikro menyebut kewajiban sertifikasi halal juga membuka peluang dalam menciptakan lapangan kerja baru. Pasalnya, lanjut Dzikro, proses sertifikasi halal memerlukan dukungan dari mitra BPJPH, mulai dari lembaga pendamping hingga lembaga pemeriksa yang tentu membutuhkan banyak sumber daya manusia (SDM).
"Penyelenggaraan sertifikasi halal meski dikeluarkan pemerintah tapi pelaksanaannya ada mitra lain. Hal ini membuka lapangan kerja beru, apakah itu penyelia, auditor halal, dan pendamping halal dan yang sedang siapkan biro sembelihan halal. Ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Dzikro.
Muhammad Nursyamsi