Kamis 13 Jun 2024 16:18 WIB

PR Besar Asuransi Syariah yang Belum Terpecahkan

Asuransi syariah masih dibayang-bayangi asuransi konvensional.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Lida Puspaningtyas
Project Managing Director Karim Consulting Indonesia Rizal Arslan saat ditemui usai Free session For Islamic Insurance, Outlook 2024 yang diadakan Karim Consulting Indonesia di Jakarta, Rabu (12/6/2024).
Foto: Dian Fath Risalah
Project Managing Director Karim Consulting Indonesia Rizal Arslan saat ditemui usai Free session For Islamic Insurance, Outlook 2024 yang diadakan Karim Consulting Indonesia di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asuransi syariah memiliki prospek besar di Indonesia, berdasarkan data Maret 2024 aset asuransi dan reasuransi syariah secara CAGR naik 5,83 persen dengan total aset pada Maret 2024 sebesar Rp 45,10 triliun. CAGR merupakan singkatan dari compounded annual growth rate, yakni tingkat pertumbuhan per tahun selama rentang periode waktu tertentu.

Populasi Muslim di Indonesia yang besar juga menjadi potensi meningkatnya permintaan akan produk keuangan yang sesuai syariah. Oleh karenanya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong perusahaan asuransi syariah dan unit usaha syariah untuk terus mengembangkan fitur produk berbasis syariah dan tidak hanya mengganti “baju” produk konvensional dan memberi label “syariah”.

Baca Juga

Penguatan terhadap lembaga syariah pun terus ditingkatkan antara lain penguatan struktur penguatan lembaga syariah melalui konsolidasi spin off. Hal itu termaktub dalam Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2023 (POJK 11/2023) tentang Pemisahan Unit Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 

Ekuitas minimum tersebut dapat dipenuhi baik melalui penambahan modal dari pemegang saham, pertumbuhan perusahaan secara organik, atau melalui konsolidasi perusahaan. Ekuitas minimum sebesar Rp 100 miliar bagi unit syariah perusahaan asuransi, dan Rp 200 miliar bagi unit syariah perusahaan reasuransi.

 

Pendiri Karim Consulting Indonesia, Adiwarman A Karim mengingatkan, ketika perusahaan asuransi spin off maka akan ada banyak masalah yang tak bisa dihindari. Salah satunya adalah belum ada pemetaan yang jelas segmen mana yang akan menjadi target sasaran.

"Permasalahan saat ini, asuransi syariah sebagian besar belum ada strategi yang jelas menyasar segmen mana, mau jadi champion di mana. Karena ketika spin off kan ibaratnya seperti kakak dan adik dengan perusahaan induk, tak bisa dihindari nantinya rebutan pasar dengan induk. Oleh karena itu, ada baiknya sebelum spin off sudah petakan sasaran yang bagus," ujarnya dalam Free session For Islamic Insurance, Outlook 2024 yang diadakan Karim Consulting Indonesia di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Adiwarman menambahkan dalam menyusun strategi, terdapat tantangan strategi produk berupa pemisahan pool of risk antara konvensional dan syariah yang menyebabkan  hukum bilangan besar dalam penghitungan aktuaria kurang menguntungkan bagi asuransi syariah. Akibatnya, nasabah asuransi syariah harus membayar premi lebih tinggi untuk mendapat benefit yang sama dan mendapat benefit yang lebih kecil untuk premi yang sama.

Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemisahan pengelolaan investasi pool of tabaru fund syariah dengan pool cost of insurance covensional. Pool of risk dalam penghitungan aktuaria dilakukan secara keseluruhan sehingga nasabah syariah membayar premi yang sama untuk benefit yang sama dengan nasabah konvensional.

"Tak hanya itu, peran skema insentif kepada agen yang diberikan perusahaan asuransi juga turut menentukan tingkat penjualan asuransi syariah," kata dia.

Hadir dalam kesempatan yang sama, Project Managing Director Karim Consulting Indonesia Rizal Arslan mengatakan hal yang sama. Menurutnya, saat ini pekerjaan rumah yang paling besar untuk asuransi syariah adalah belum memiliki fokus bisnis yang pas, lantaran masih selalu dibayangi oleh asuransi konvensional.

"Sekarang asuransi syariah masih belum fokus mau ke mana, masih ngambang, kadang-kadang ada yang masih saingan sama konvensional. Jadi belum ada strategi-strategi yang cukup pas, karena kan asuransi konvenvensional pasti ada syariahnya,” jelas Rizal.

Oleh karenanya dibutuhkan pemetaan strategi agar bisnis asuransi syariah dan konvensional mampu bertahan. Ia pun menjabarkan sejumlah strategi yang dapat dilakukan, pertama adalah dengan melakukan miroring, yakni menjadikan semua produk konvensional memiliki produk syariah, mengingat permintaan produk berlandaskan syariah yang terus meningkat.

“Sehingga itu bisa menjadi opsi bagi masyarakat nanti ada pilihan konvensional atau syariah, itu strategi pertama yaitu mirroring model. Jadi semua produk konvensional ada syariahnya, ada pilihan syariahnya, daripada ke syariah lain mendingan ke syariah anak perusahaan gitu,” jelasnya.

Strategi kedua adalah diversifikasi produk, sehingga setiap asuransi konvensional maupun syariah memiliki target pasarnya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk menghindari perebutan segmen pasar.

“Jadi masing-masing mempunyai produk yang berbeda, supaya tidak terjadi overlap penjualan produk syariah tinggi, konvensional rendah, atau konvensional tinggi, syariah rendah,” ujar Rizal.

Selain itu juga bisa melakukan metode kombinasi dengan cara perusahaan asuransi syariah yang telah melakukan spin off bisa menyasar produk konvensional terlebih dahulu, dalam hal ini mirroring. Namun setelah perusahaan menemukan fokus bisnisnya maka dapat dilakukan diversifikasi.

“Jadi di awal perusahaan asuransi bisa melakukan mirroring dulu, sama dulu semua (produknya), konvensional ada, di syariah juga ada. Tapi nanti waktu syariah sudah punya ukuran bisnis yang besar sendiri maka nanti baru kita pisahkan diversifikasi antara produk konvensional sama syariahnya gitu,” terangnya.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengungkapkan per 31 Desember 2023, OJK telah menerima 41 perubahan Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS) dari total 42 perusahaan yang memiliki unit syariah. Terdapat satu perusahaan tidak menyampaikan perubahan RKPUS karena sedang dalam proses pengalihan portofolio. 

"Berdasarkan RKPUS tersebut, sebanyak 32 perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah menyatakan akan melakukan spin-off dengan mendirikan perusahaan asuransi syariah baru," katanya.

Sampai dengan akhir Maret 2024, Ogi menyebut telah dilakukan analisis terhadap seluruh perubahan RKPUS yang disampaikan perusahaan dan prudential meeting dengan 93 persen perusahaan yang telah menyampaikan perubahan RKPUS. Ia menyebut pada minggu pertama April 2024 telah dilakukan prudential meeting dengan seluruh perusahaan yang menyampaikan perubahan RKPUS. 

Ogi juga menyampaikan, prudential meeting tersebut dihadiri oleh perwakilan dari pemegang saham, direksi, komisaris, dan dewan pengawas syariah (DPS) perusahaan yang memiliki unit syariah.

"Berdasarkan hasil pertemuan tersebut, setidaknya terdapat 2 perusahaan yang akan memproses spin off pada 2024 dengan cara mendirikan perusahaan asuransi syariah, dan 3 perusahaan akan/sedang memproses spin off dengan cara pengalihan portofolio," ujar Ogi.

 

Karim Consulting Indonesia mencatat UUS asuransi jiwa dengan kategori high profit, more prudent yakni Manulife Indonesia, Asuransi Simas Jiwa, Avrist Assurance, MSIG Life Insurance Indonesia, Asuransi Jiwa Central Asia Raya, Sun Life Indonesia, Asuransi Jiwa Astra, BRI Life dan AIA Financial. Sementara dua UUS asuransi umum dengan kategori high profit, more prudent adalah Asuransi Astra Buana dan Sampo Insurance Indonesia.

 

Daftar lengkap perusahaan asuransi dan kesiapannya dalam spin off....

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement