Jumat 21 Jul 2023 06:18 WIB

Masalah Klasik Sulitnya Meningkatkan Literasi Halal di Indonesia

Literasi halal penduduk Muslim di Indonesia sebetulnya sudah cukup tinggi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi sertifikasi halal.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Ilustrasi sertifikasi halal.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Viralnya selebgram Jovi Adhiguna yang mengonsumsi kerupuk babi di restoran Bakso A Fung di Bandara Ngurah Rai, Bali menjadi perdebatan di media sosial. Warganet yang peduli terhadap kehalalan makan dan dan mengimbau untuk berhati-hati memperhatikan kehalalan makanan justru dicap sebagai bigot atau orang yang terlalu fanatik.  

Apakah literasi soal halal di Indonesia yang notabene mayoritas beragama Muslim masih rendah? 

Baca Juga

Kepala Riset Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, Fauziah Rizki Yuniarti menuturkan, literasi halal penduduk Muslim di Indonesia sebetulnya sudah cukup tinggi. Ia mengungkapkan, dari sekitar 700 sampel responden Muslim yang dominan di Pulau Jawa, tingkat kesadaran terhadap makanan halal sangat tinggi. 

“Meski demikian, kesadaran responden tentang label halal memang sayangnya masih didominasi kehalalan atas bahan baku. Sedangkan sebenarnya, label halal itu didapat mencakup from farm to fork. Dari bahan baku, proses, pengemasan, dan distribusi sampai produk itu sampai di piring kita,” kata Fauziah kepada Republika.co.id, Kamis (20/7/2023). 

Kendati demikian, Fauziah tak menampik upaya meningkatkan literasi halal di Indonesia memang cukup sulit. Hal itu disebabkan oleh faktor sejarah dan budaya. 

Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk muslim, Indonesia memiliki sejarah dan budaya yang telah terbentuk secara sosial, bahwa semua produk yang dijual dan beredar pasti halal. “Padahal, kenyataannya tidak,” tegasnya. 

Selain itu, isu pentingnya label halal yang diperoleh melalui proses sertifikasi menjadi isu regional karena masih terdapat daerah dengan sejarah budaya yang memiliki nilai-nilai Islam cukup kuat merasa tersinggung bila harus menggunakan label halal. Sebab, mereka menganggap semua produk di daerah itu pasti halal atau tidak haram. 

Fauziah menyampaikan, selain soal sejarah dan budaya, sulitnya meningkatkan literasi halal di Indonesia akibat dari faktor pendekatan. Seperti diketahui, sejumlah negara yang bukan notabene mayoritas berpenduduk Muslim bahkan telah lebih dulu mengembangkan ekosistem produk halal. 

Di negara non-Muslim, pendekatan pentingnya label halal biasanya dimulai dengan narasi nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kalangan. Intinya bahwa halal adalah proses yang bersih dan sehat. Sementara di Indonesia, pendekatan yang dilakukan berbeda.

 

Ia menegaskan, sejatinya banyak dampak positif yang diperoleh dari sertifikasi halal suatu produk baik itu bagi produsen atau pelaku usaha maupun konsumen. Benefit utama dari sisi suplai adalah potensi peningkatan penjualan. Ini karena label halal adalah panduan utama dan pertama bagi responden Muslim Indonesia dalam menilai kehalalan sebuah produk. 

“Untuk makanan, label halal menjadi hal pertama yang dilihat, diikuti oleh harga dan kualitas. Sedangkan kosmetik dan farmasi, kualitas menjadi hal pertama yang dilihat lalu diikuti oleh label halal dan brand,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement