REPUBLIKA.CO.ID, ULAN BATOR -- Indonesia dan Mongolia berkomitmen mempererat hubungan perdagangan, termasuk di sektor industri halal. Kementerian Luar Negeri RI membuka peluang kerja sama perdagangan impor daging halal Mongolia.
"Telah disebutkan sebelumnya bahwa industri halal merupakan peluang yang cukup besar bagi kita untuk berkolaborasi," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Hubungan Ekonomi dan Kerja Sama Pembangunan Kementerian Luar Negeri RI Dyah Lestari Asmarani di Ulan Bator, Mongolia, Rabu (20/11/2025).
"Indonesia memiliki populasi muslim terbesar di dunia, dan kami memiliki fasilitas sertifikasi halal serta permintaan daging sapi dan domba yang terus meningkat," kata Dyah dalam forum bisnis bertajuk "Expanding Horizons in Trade and Investment" yang diselenggarakan KBRI Beijing dan dihadiri pejabat pemerintahan, kamar dagang dan industri serta para pengusaha Mongolia.
"Saya yakin Mongolia memiliki populasi ternak yang besar dan sangat mendesak bagi kita untuk menciptakan lebih banyak kolaborasi di sektor ini," tambah Dyah.
Dalam hal hubungan perdagangan, Dyah menyebut Indonesia dan Mongolia memiliki banyak potensi yang belum dioptimalkan.
"Angka ekspor dan impor Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, yang penting bagi kita adalah bagaimana kita dapat mengeksplorasi lebih lanjut potensi kerja sama di masa depan, seperti bagaimana memaksimalkan diversifikasi ekspor, menawarkan peluang untuk barang-barang industri, atau mengimpor barang-barang yang terutama didorong oleh komoditas mineral, energi, dan logistik," ungkap Dyah.
Dyah mengakui bahwa Mongolia kaya akan tembaga, batu bara, mineral tanah jarang, emas, dan uranium sementara Indonesia kuat dalam teknologi pertambangan, jasa teknik pertambangan, dan manufaktur alat berat.
"Jadi, peluangnya adalah bagaimana perusahaan pertambangan Indonesia juga dapat berkolaborasi dengan mitra mereka di Mongolia dalam hal peralatan dan jasa untuk melakukan usaha patungan atau kolaborasi lain dengan standar pertambangan berkelanjutan," tambah Dyah.
Koloborasi lain yang juga bisa dilakukan adalah di bidang pengembangan energi terbarukan, ketahanan pangan hingga pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia.
"Misalnya kita dapat memiliki semacam kolaborasi dalam program pertukaran pelajar dengan pelatihan khusus untuk insinyur Mongolia, begitu pula sebaliknya untuk Indonesia, bisa ada pusat penelitian bersama tentang pertambangan berkelanjutan," ungkap Dyah.
Sektor selanjutnya adalah terkait dengan pariwisata dan ekonomi kreatif karena kedua negara ingin mendiversifikasi sektor pariwisata.
"Potensinya adalah bagaimana mengemas pariwisata nomaden, mempromosikannya kepada masyarakat masing-masing sehingga kita juga dapat menikmati perbedaan antara Indonesia dan Mongolia, budaya, dan juga lanskap di kedua negara," kata Dyah.
Dyah pun menawarkan tiga usulan agar ada struktur tetap dalam kerja sama ekonomi kedua negara. Pertama adalah membuat platform yang terstruktur seperti pertemuan rutin untuk memastikan komunikasi berkelanjutan antardua negara.
Kedua, memulai kerja sama di sektor-sektor kunci yang disorot pemimpin kedua negara seperti pertambangan dan mineral penting, pertanian dan peternakan, inovasi digital dan ekonomi kreatif, pariwisata dan pertukaran budaya, serta konektivitas dan infrastruktur pendukung.
Ketiga adalah memperluas kerja sama pengembangan peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan, pertukaran teknis, dan program pembangunan, terutama di bidang-bidang seperti pemerintahan pertambangan, teknologi pertanian, kesiapan digital, manajemen pariwisata, dan sektor-sektor lainnya.
"Menjelang peringatan 70 tahun hubungan diplomatik kita tahun depan, kita memiliki kesempatan untuk memperingati tonggak bersejarah ini dengan hasil nyata yang menunjukkan bahwa Indonesia dan Mongolia sedang bergerak dari niat menuju kemajuan konkret," tegas Dyah.