REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA — Pangsa pasar (market share) keuangan syariah di Indonesia berdasarkan data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencapai sekitar 11 persen dengan total aset tembus Rp 3.030 triliun. Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menilai bahwa untuk memperluas market share, salah satu langkah penting adalah meningkatkan inklusi keuangan syariah melalui integrasi berbagai produk dalam satu platform.
“Yang menjadi prioritas kami ke depan juga mengintegrasikan berbagai produk dari bidang industri yang berbeda menjadi satu platform yang memudahkan akses, pengenalan, serta pemanfaatan dari seluruh jasa. Yang pada gilirannya kami cukup yakin bisa bertumbuh dengan jauh lebih cepat daripada di waktu sebelumnya,” kata Mahendra dalam Indonesia Islamic Finance Summit (IIFS) 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Senin (3/11/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Berdasarkan data OJK per Juli 2025, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) mencapai Rp 3.030,73 triliun atau sekitar 11,63 persen dari total pangsa pasar keuangan nasional. Aset tersebut terdiri atas perbankan syariah sebesar Rp 965,15 triliun (7,41 persen), industri keuangan nonbank (IKNB) sebesar Rp 177,39 triliun (4,57 persen), dan pasar modal syariah sebesar Rp 1.889,19 triliun (20,63 persen).
Perbankan syariah meliputi tiga sektor, yakni Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS), dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS). Sementara itu, IKNB mencakup asuransi syariah, pembiayaan syariah, dan lembaga keuangan nonbank syariah lainnya. Untuk pasar modal syariah, komponen utamanya antara lain sukuk korporasi, reksa dana syariah, dan sukuk negara.
Mahendra menekankan, dari sekitar 10 sektor dalam industri keuangan syariah tersebut, perlu diciptakan integrasi produk agar masyarakat lebih mudah mengakses dan memanfaatkan layanan keuangan syariah.
“Agregasi dari 10 industri keuangan syariah itu boleh dikatakan sebagai suatu angka yang baik, katakanlah setingkat dengan progres kita saat ini. Tapi ke depan, perbaikan dari keseluruhan ekosistem, koordinasi, serta aktivitas yang spesifik dikhususkan untuk pengembangan inovasi, kreativitas, dan penguatan sektor keuangan syariah,” terangnya.
Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Syariah 2025, tingkat literasi masyarakat Indonesia terhadap keuangan syariah tercatat sebesar 46,17 persen, sedangkan tingkat inklusi keuangannya mencapai 13,41 persen.
Kedua angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan tingkat literasi dan inklusi keuangan konvensional yang masing-masing berada pada level 66,46 persen dan 80,51 persen. Mahendra menilai, adanya ketimpangan antara literasi dan inklusi keuangan syariah menunjukkan bahwa masyarakat memiliki minat tinggi terhadap layanan keuangan syariah, namun akses terhadap produk dan lembaga keuangan syariah masih terbatas.
“Angka inklusi keuangan syariah masih relatif kecil dibandingkan dengan literasi, menunjukkan bahwa keinginan masyarakat untuk menggunakan keuangan syariah besar sekali, tetapi keberadaan dan akses dari produk keuangan dan lembaga-lembaga jasa keuangan syariahnya harus ditingkatkan,” tegas Mahendra.