REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Industri perbankan syariah terus menunjukkan performa solid di tengah ketidakpastian ekonomi global. Hingga Agustus 2025, aset perbankan syariah tercatat Rp975,94 triliun, naik dari Rp965,15 triliun pada Juli 2025. Pembiayaan tumbuh 8,13 persen secara tahunan menjadi Rp670,75 triliun, sedangkan dana pihak ketiga (DPK) naik 7,37 persen menjadi Rp757,2 triliun. Pangsa pasar perbankan syariah kini mencapai 7,44 persen dari total aset perbankan nasional.
Direktur Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nyimas Rohmah, menyebut capaian tersebut mencerminkan ketahanan industri syariah di tengah tekanan ekonomi global. “Pertumbuhan ini hasil kerja keras seluruh pemangku kepentingan, termasuk peran media yang konsisten menyampaikan informasi akurat dan membangun kepercayaan publik,” ujar Nyimas dalam Workshop Jurnalis Ekonomi Syariah (JES) di Bogor, Jumat (31/10/2025).
Tidak ada kode iklan yang tersedia.
Ia menegaskan, arah pengembangan perbankan syariah kini bergeser dari sekadar mengejar keuntungan menuju penciptaan nilai dan dampak sosial. “Kita ingin membangun bank syariah yang unggul secara bisnis, dekat dengan nasabah, dan berdampak sosial nyata,” ucapnya.
Paradigma baru itu menempatkan bank syariah bukan hanya lembaga intermediasi, tetapi juga agen pembangunan berkeadilan. Melalui optimalisasi zakat, infak, sedekah, dan wakaf, bank syariah diharapkan memperluas inklusi keuangan bagi pelaku UMKM yang belum tersentuh layanan perbankan.
OJK kini mengawal transformasi industri melalui Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023–2027. Peta jalan itu menekankan dua fokus utama, yaitu peningkatan daya saing industri dan penguatan dampak sosial ekonomi. Lima pilar strategis disiapkan, mulai dari penguatan struktur industri hingga penerapan tata kelola berbasis syariah.
Sebagai bagian dari kebijakan tersebut, OJK menerbitkan dua regulasi baru, yakni POJK Nomor 20 Tahun 2025 tentang Liquidity Coverage Ratio (LCR) dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), serta POJK Nomor 21 Tahun 2025 tentang Leverage Ratio bagi BUS.
“OJK ingin memastikan BUS dan UUS mampu mengelola likuiditas serta pendanaan jangka panjang secara disiplin, selaras dengan standar Basel III dan Islamic Financial Services Board (IFSB),” tulis OJK dalam keterangannya.
Kebijakan itu memperkuat struktur permodalan dan likuiditas industri agar lebih tangguh dan efisien. BUS dan UUS diwajibkan menjaga rasio likuiditas minimal 100 persen serta rasio pengungkit minimum tiga persen mulai kuartal I 2026.
View this post on Instagram
Mengacu pada laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025, aset keuangan syariah global mencapai 4,93 triliun dolar AS dan diproyeksikan menembus 7,5 triliun dolar AS pada 2028. Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam Global Islamic Economy Indicator (GIEI) dan peringkat kedua dalam transaksi Islamic finance, menegaskan perannya sebagai salah satu ekosistem keuangan syariah paling progresif di dunia. SGIE juga mencatat, pertumbuhan sektor keuangan Islam global didorong inovasi digital, sukuk berkelanjutan, serta penguatan regulasi nasional arah yang sejalan dengan kebijakan transformasi OJK.
Penguatan juga terlihat pada sektor asuransi, penjaminan, dan dana pensiun (PPDP) syariah. Per Agustus 2025, kontribusi asuransi syariah mencapai Rp18,07 triliun, tumbuh 2,49 persen secara tahunan. Iuran dana pensiun syariah naik 17,91 persen menjadi Rp0,37 triliun, sementara imbal jasa kafalah meningkat 13,59 persen menjadi Rp0,62 triliun. Capaian ini menunjukkan kinerja sektor non-bank syariah yang stabil dan terus memperluas perlindungan berbasis prinsip syariah bagi masyarakat.
Sinergi antarindustri juga terus diperkuat. Manulife Syariah Indonesia bersama Danamon Syariah meluncurkan produk asuransi jiwa berbasis syariah Proteksi Prima Berkah (PPB), yang memberikan perlindungan selama 25 tahun dengan kontribusi delapan tahun. Produk ini menawarkan manfaat tunai bertahap hingga 138 persen dari total kontribusi, serta perlindungan meninggal dunia sebesar 132 kali kontribusi bulanan.
Presiden Direktur Manulife Syariah Indonesia, Fauzi Arfan, menyebut PPB sebagai wujud nilai gotong royong dan keberlanjutan dalam proteksi jiwa. “Kami ingin menghadirkan produk yang tidak hanya memberikan rasa aman, tetapi juga memberdayakan masyarakat untuk merancang masa depan dengan penuh keyakinan,” ujarnya.
Direktur Syariah dan Sustainability Finance Bank Danamon, Herry Hykmanto, menambahkan kolaborasi ini mencerminkan sinergi berkelanjutan antara sektor perbankan dan asuransi. “Proteksi Prima Berkah memperluas akses proteksi berbasis nilai-nilai syariah bagi masyarakat,” katanya.
Langkah OJK juga direspons positif oleh pelaku industri perbankan. Bank Mega Syariah mencatat dana kelolaan wealth management mencapai Rp125 miliar per September 2025, tumbuh 112 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kontribusi terbesar berasal dari reksa dana syariah yang melonjak 433 persen (YoY) menjadi Rp90 miliar.
Digital Business & Product Development Division Head Bank Mega Syariah, Benadicto Alvonzo Ferary, mengatakan peningkatan itu didorong kolaborasi dengan Batavia Prosperindo Aset Manajemen (BPAM). “Kolaborasi ini menghadirkan lima produk reksa dana syariah yang mencakup berbagai kelas aset, mulai dari pasar uang hingga saham global,” ujarnya.
Sementara itu, CIMB Niaga Syariah memperkuat pembiayaan berkelanjutan berbasis prinsip ESG. Presiden Direktur & CEO CIMB Niaga, Lani Darmawan, mengatakan hampir 24 persen dari total pembiayaan bank mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) PBB. “Kami ingin mengintegrasikan keberlanjutan dalam setiap aspek solusi keuangan syariah,” ujarnya.
Meski kinerja industri tumbuh stabil, pengamat menilai tantangan pengembangan keuangan syariah nasional masih besar. Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, Nur Hidayah, menilai integrasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia menghadapi lima persoalan utama, mulai dari pangsa pasar kecil, dana sosial Islam yang belum optimal, hingga implementasi kebijakan daerah yang belum merata.
“Kontribusi zakat ke APBN baru sekitar satu persen, jadi masih underutilized,” ujarnya. Menurutnya, penguatan best practices seperti pengelolaan zakat di Aceh dan program Kredit Mesra di Jawa Barat bisa menjadi contoh nyata peran keuangan syariah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Nyimas menegaskan kembali, transformasi perbankan syariah bukan sekadar soal besarnya aset, tetapi tentang keberlanjutan nilai. “Transformasi perbankan syariah bukan hanya soal pertumbuhan aset, tapi tentang menghadirkan keadilan dan keberkahan bagi masyarakat luas,” tegasnya.
Transformasi nilai inilah yang kini menjadi tantangan utama industri keuangan syariah agar tidak hanya tumbuh besar di angka, tetapi juga bermakna bagi kesejahteraan umat.
 
                     
                     
      
      