Kamis 26 Jun 2025 17:04 WIB

Keuangan Syariah Dinilai Lebih Tahan Gejolak, BI: Instrumen Syariah Punya Underlying Asset

Menurut Imam, keunggulan ini berasal dari prinsip dasar keuangan syariah.

Kepala Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Lampung Bimo Epyanto (kiri) dan Kepala Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah, Bank Indonesia (BI), Imam Hartono (kanan) di kantor KPw BI Lampung, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Rabu (25/6/2025).
Foto: Muhammad Nursyamsyi/Republika
Kepala Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Provinsi Lampung Bimo Epyanto (kiri) dan Kepala Departemen Ekonomi & Keuangan Syariah, Bank Indonesia (BI), Imam Hartono (kanan) di kantor KPw BI Lampung, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung, Rabu (25/6/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG — Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah (DEKS) Bank Indonesia (BI), Imam Hartono, menilai keuangan syariah memiliki ketahanan (resilience) yang lebih kuat terhadap gejolak maupun krisis ekonomi dibandingkan sistem keuangan konvensional. Menurut Imam, keunggulan ini berasal dari prinsip dasar keuangan syariah yang mewajibkan adanya underlying asset atau aset dasar dalam setiap instrumen, sehingga terhindar dari unsur spekulasi dan riba.

“Keuangan syariah mempunyai kelebihan dibandingkan konvensional karena ada underlying asset, sehingga biasanya lebih resilient. Itu terbukti saat krisis terjadi,” ujar Imam dalam wawancara bersama media di Bandarlampung, Kamis (26/6/2025).

Baca Juga

Meski demikian, ia tidak menampik bahwa ketidakpastian ekonomi global tetap memberi dampak terhadap keuangan syariah. Ia berharap para pelaku usaha syariah dapat melakukan mitigasi risiko secara optimal dengan memanfaatkan karakteristik unik sistem ini.

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti juga menegaskan bahwa instrumen keuangan syariah cenderung lebih stabil. Ia mencontohkan kondisi Malaysia yang kini menghadapi keterbatasan underlying asset akibat ekspansi besar-besaran keuangan syariah. Sementara itu, Filipina disebut mulai agresif mendorong sektor serupa.

“Indonesia baru mulai mengembangkan instrumen keuangan syariah. Pemerintah kini cukup agresif menerbitkan surat berharga syariah, salah satunya untuk pembiayaan UMKM. Ini bisa di-bundle menjadi underlying asset bagi instrumen keuangan syariah,” kata Destry.

Mengutip Kajian Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia (KEKSI) 2024, nilai outstanding sukuk meningkat dari Rp29,83 triliun (2019) menjadi Rp55,26 triliun (2024), dengan jumlah seri bertambah dari 143 menjadi 247.

Akumulasi nilai penerbitan sukuk juga melonjak dari Rp48,24 triliun (2019) menjadi Rp121,16 triliun (2024), dengan penerbitan meningkat dari 232 seri menjadi 523 seri.

BI juga terus memperkuat operasi moneter melalui instrumen syariah seperti Sukuk Bank Indonesia (SukBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Per Maret 2025, outstanding SukBI tercatat Rp64,5 triliun, naik dari Rp1,8 triliun pada Desember 2018. Adapun outstanding SUVBI per Maret 2025 mencapai 315 juta dolar AS, meningkat dari 129 juta dolar AS pada November 2023.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement