Kamis 19 Jun 2025 16:23 WIB

Inklusi Keuangan Syariah Baru 13 Persen, Sistem Belum Menyentuh Akar Umat

Meski literasi meningkat, pemanfaatan layanan syariah masih minim di masyarakat.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan tingkat literasinya. (ilustrasi)
Foto: Bank Syariah Indonesia
Tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan tingkat literasinya. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tingkat inklusi keuangan syariah di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan tingkat literasinya. Meski pemahaman masyarakat terhadap sistem keuangan syariah terus meningkat, pemanfaatannya belum menjadi arus utama dalam kehidupan sehari-hari umat.

Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLK) 2025 mencatat bahwa tingkat literasi keuangan syariah telah mencapai 43,42 persen. Namun, inklusi keuangan syariah baru berada pada angka 13,41 persen. Artinya, hanya tiga dari sepuluh orang yang memahami keuangan syariah yang benar-benar menggunakannya dalam praktik.

Baca Juga

“Banyak masyarakat yang sudah tahu atau mengenal sistem keuangan syariah, tetapi belum menggunakannya dalam praktik sehari-hari,” kata Associate Wealth Planner, Dewi Mayasari, dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (18/6/2025).

“Ini menunjukkan adanya kesenjangan nyata antara pemahaman dan pemanfaatan produk keuangan syariah,” tambahnya.

Riset OJK Institute 2025 mengidentifikasi empat hambatan utama dalam perluasan inklusi keuangan syariah. Pertama, dari sisi penawaran, jangkauan layanan perbankan syariah masih terbatas, terutama di daerah terpencil. Minimnya agen syariah dan fitur digital membuat akses layanan tidak merata.

Kedua, dari sisi permintaan, banyak masyarakat merasa produk keuangan syariah masih terlalu rumit. Istilah seperti mudharabah dan musyarakah belum familiar. Bahkan, ada anggapan bahwa bank syariah hanya untuk keperluan keagamaan.

Ketiga, dari sisi regulasi, belum ada integrasi yang menyatu antara fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN-MUI) dengan regulasi otoritas seperti OJK dan BI. Proses persetujuan produk sering terhambat oleh birokrasi.

Keempat, digitalisasi perbankan syariah masih tertinggal dibandingkan bank konvensional. Fitur mobile banking belum terintegrasi dengan ekosistem digital seperti marketplace dan e-wallet.

“Inklusi bukan sekadar urusan bisnis. Ia adalah bagian dari maqashid syariah—tujuan syariat yang menekankan pentingnya menjaga harta dan menciptakan keadilan distribusi,” tegas Dewi.

Padahal, perbankan syariah bisa menjadi solusi nyata bagi kelompok ekonomi rentan. Pembiayaan mikro berbasis akad syariah dapat menjadi alternatif dari pinjaman ilegal. Dewi menilai peningkatan inklusi keuangan syariah harus dilakukan secara sinergis. Regulator perlu menyederhanakan regulasi dan memberikan insentif. Bank syariah perlu memperluas digitalisasi dan memperbaiki layanan di lapangan. Sedangkan masjid, pesantren, dan lembaga pendidikan dapat menjadi agen literasi syariah yang membumi.

“Umat Islam di Indonesia sudah siap. Literasi mereka meningkat, semangat hijrah finansial tumbuh. Yang mereka butuhkan kini adalah sistem yang mudah diakses, relevan dengan kebutuhan, dan selaras dengan nilai Islam,” kata Dewi.

Ia menegaskan bahwa inklusi keuangan syariah bukan hanya soal membuka rekening, tetapi memastikan bahwa prinsip keadilan Islam dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement