Senin 26 May 2025 16:06 WIB

Tiga Catatan Evaluasi Profesor dari Malaysia Soal Perkembangan Keuangan Syariah di Indonesia

Literasi dan inklusi masyarakat mengenai keuangan syariah dinilai perlu.

Rep: Eva Rianti/ Red: Qommarria Rostanti
Professor INCEIF University, Malaysia, Mohamad Akram Laldin saat memaparkan materi dalam acara Islamic Finance Dialogue di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Foto: Dok. Republika
Professor INCEIF University, Malaysia, Mohamad Akram Laldin saat memaparkan materi dalam acara Islamic Finance Dialogue di Jakarta, Senin (26/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Professor at INCEIF University, Malaysia, Mohamad Akram Laldin menyampaikan sejumlah evaluasi mengenai kondisi perkembangan keuangan syariah di Indonesia. Menurutnya, dukungan dari pemerintah, literasi masyarakat, dan diferensiasi produk menjadi catatan yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk terus menumbuhkan keuangan syariah di Indonesia.

Akram berkaca dari perkembangan keuangan syariah di Malaysia. Ia menyebutkan bahwa, di Malaysia, dari awal keuangan syariah telah mendapatkan sokongan yang kuat dari pihak Kerajaan. Dukungan dari pemerintah dinilai yang paling menguatkan ekosistem keuangan syariah.

Baca Juga

“Yang mendorong keuangan Islam di Malaysia adalah Kerajaan, ada banyak insentif yang diberikan Kerajaan kepada keuangan syariah. Dan di Indonesia saya kira sudah mulai begitu lah, sudah ada lonjakan kita kata di dalam keuangan Islam di Indonesia,” ujar Akram kepada Republika seusai acara Islamic Finance Dialogue (IFD) yang merupakan serangkaian acara Islamic Sharia Finance (ISF) 2025 gelaran Republika di Hotel Le Meridiem, Jakarta, Senin (26/5/2025).

Selain dukungan dari pemerintah, Akram mengatakan perlunya meningkatkan literasi dan inklusi masyarakat mengenai keuangan syariah. Menurutnya, hingga saat ini, mindset yang masih ada di tengah masyarakat mengenai riba masih mengakar kuat.

“Masyarakat bila (ketika) berurusan dengan bank, soal pengharaman riba sendiri tidak semua memahami. Di masyarakat, misal arak atau judi, mereka tahu haram, tetapi kalau riba, tidak semua memiliki pemahaman mengenai pengharaman riba. Itu karena Itu karena kita telah lama bergelimang di riba dari beratus-ratus tahun sudah dari zaman colonial sampai sekarang,” jelasnya.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan, angka literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia masih relatif terbatas, yakni 13,41 persen pada Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025, meningkat tipis dibandingkan SNLIK 2024 sebesar 12,88 persen. Sementara itu, indeks literasi dan inklusi keuangan konvensional mencapai 66,45 persen dan 79,71 persen. Sehingga masih ada kesenjangan yang cukup besar antara keuangan syariah dan konvensional.

Akram melanjutkan, selain dukungan dari pemerintah dan peningkatan literasi masyarakat, faktor lainnya yang tak kalah penting adalah diferensiasi produk. Menurut Akram, lembaga keuangan syariah mestinya bisa terus beradaptasi dengan inovasi-inovasi produk dari lembaga keuangan konvensional, sehingga tidak ketinggalan, dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat.

“Keuangan Islam perlu menyediakan service yang setara, macam keuangan konvensioal. Sebab, kadang-kadang bank-bank Islam produk mereka ada, tapi tidak cukup, mungkin mereka ada produk ritel tetapi tidak ada produk korporat,” ujarnya.

Akram menekankan, level of service lembaga keuangan syariah mestinya sama dengan pelayanan dari lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, lembaga keuangan syariah juga memiliki kapabilitas untuk memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat.

“Kalau konvensional boleh (bisa) offer suatu produk, kita pun patut coba offer. Jadi lebih mudah untuk orang khususnya yang korporat, mereka lebih mudah untuk datang pada kita, ‘Oh semua yang saya perlukan ada di sini’,” kata dia.

“Jadi kita perlu tingkatkan produk services dan tingkatkan profesionalisme dalam berurusan dengan masyarakat,” ujarnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement