Senin 26 May 2025 14:18 WIB

IsDB Soroti Tantangan dan Peluang Keuangan Syariah di Indonesia

IsDB juga menyoroti kurangnya optimalisasi aset wakaf di Indonesia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Qommarria Rostanti
Country Economist IsDB Regional Hub Indonesia Ali Mansour Fallahi saat memaparkan materi dalam acara Islamic Finance Dialogue di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Foto: Dok. Republika
Country Economist IsDB Regional Hub Indonesia Ali Mansour Fallahi saat memaparkan materi dalam acara Islamic Finance Dialogue di Jakarta, Senin (26/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Country Economist Islamic Development Bank (IsDB) Regional Hub Indonesia, Ali Mansour Fallahi, mengatakan masih terdapat sejumlah tantangan dalam pengembangan keuangan syariah di Indonesia. Fallahi menegaskan IsDB tidak hanya berperan dalam pengembangan keuangan Islam, tetapi juga berkontribusi terhadap seluruh proyek pembangunan di Indonesia layaknya Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB).

Fallahi menjelaskan strategi IsDB di Indonesia dirumuskan dalam dokumen yang disebut Member Country Partnership Strategy (MCPS). Selain itu, IsDB juga terlibat dalam penyusunan master plan layanan keuangan syariah, arsitektur keuangan syariah nasional, serta peta jalan pengembangan bank syariah.

Baca Juga

Dokumen-dokumen tersebut disusun melalui kerja sama erat dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bappenas, dan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS). “Berdasarkan dokumen-dokumen ini, kami mengidentifikasi sejumlah tantangan utama dalam pengembangan keuangan syariah. Tidak semuanya saya sampaikan, tapi ini adalah beberapa tantangan yang signifikan dari perspektif IsDB,” ujar Fallahi di Islamic Finance Dialogue yang diselenggarakan Republika, Senin (26/5/2025).

Salah satu tantangan utama yang disorot Fallahi adalah minimnya keterlibatan bank syariah dalam proyek-proyek pembangunan berskala besar yang dibiayai oleh lembaga multilateral seperti IsDB. “Biasanya proyek pembangunan berdasarkan RPJMN ditentukan oleh Bappenas melalui dokumen Blue Book dan Green Book. Tapi peran bank syariah dalam pendanaan proyek-proyek ini masih sangat terbatas,” ujarnya.

Ia menduga hal ini disebabkan oleh akses pembiayaan yang terbatas dan kecenderungan bank syariah untuk menghindari risiko tinggi. “Mungkin mereka tidak ingin mengambil risiko yang lebih besar atau belum siap untuk terlibat dalam skema pembiayaan multilateral berskala besar,” ujarnya.

Fallahi juga menyoroti kurangnya optimalisasi aset wakaf di Indonesia. Ia mengaku melihat banyak sekali tanah wakaf di berbagai daerah, namun pemanfaatannya belum maksimal.

“Indonesia memiliki potensi besar untuk menggunakan wakaf dalam pembiayaan proyek sosial dan pembangunan. Tapi hingga kini, pemanfaatannya belum efisien dan belum digunakan secara strategis untuk mendukung pembiayaan pembangunan,” kata dia.

Menurut Fallahi, dana wakaf bisa disuntikkan ke dalam proyek-proyek strategis, termasuk di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial. Tantangan lainnya yang diungkapkan Fallahi adalah keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki keahlian ganda, baik dalam keuangan syariah maupun dalam prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environmental, Social, and Governance/ESG).

“Kami menemukan kebanyakan ahli keuangan syariah tidak memiliki kompetensi di bidang ESG, dan sebaliknya. Padahal, untuk mendorong keuangan berkelanjutan berbasis syariah, kita perlu sumber daya manusia dengan keahlian di kedua bidang tersebut,” katanya.

Ia juga menyoroti rendahnya tingkat literasi keuangan syariah di masyarakat. Banyak masyarakat yang belum mengenal instrumen seperti sukuk hijau (green sukuk), cash waqf sukuk, atau sukuk yang terkait proyek berkelanjutan.

“Ini bukan hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain. Kita harus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap produk-produk keuangan syariah,” ujarnya.

Menurut Fallahi, pasar keuangan syariah di Indonesia, meskipun berkembang, masih tergolong dangkal. Pendalaman pasar dinilai penting untuk memperkuat posisi keuangan syariah sebagai pilar keuangan nasional dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

“Tidak hanya pasar keuangan syariah, tetapi pasar keuangan secara umum masih perlu diperdalam. Kita butuh ekosistem yang lebih kuat,” kata dia.

IsDB, kata Fallahi, telah melakukan sejumlah intervensi dan inisiatif untuk mendorong penguatan keuangan syariah di Indonesia. Di antaranya adalah penyelenggaraan berbagai pelatihan dan seminar, termasuk pelatihan daring gratis.

IsDB juga memberikan pembiayaan melalui lini sektor swasta kepada Bank NTB Syariah dalam proses konversinya dari bank konvensional menjadi bank syariah sepenuhnya. Selain itu, IsDB sempat menjadi pemegang saham utama Bank Muamalat sebelum akhirnya melepas kepemilikannya sesuai dengan kebijakan lembaga.

Dalam pertemuan tahunan IsDB yang baru berlangsung di Aljazair, IsDB juga menegaskan kembali komitmennya terhadap transformasi digital dan inklusi keuangan, khususnya yang berbasis syariah. Fallahi menyoroti dua studi kasus yang menunjukkan efektivitas keuangan syariah dalam mendukung pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Yang pertama adalah Green Sukuk, yang dinilainya sangat cocok untuk menggabungkan prinsip syariah dengan pembiayaan hijau.

“Green Sukuk digunakan untuk mendanai proyek-proyek perubahan iklim dan energi terbarukan. Ini selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” ujarnya.

Studi kasus kedua ada 

lah Proyek Sanitasi Sunniman, bagian dari program Integrated Community-Driven Development (ICDD). Proyek ini menekankan prinsip shura atau musyawarah dalam pengambilan keputusan oleh masyarakat.

“Masyarakat menjadi pemilik dan pengambil keputusan. Ini mencerminkan prinsip inklusif dalam keuangan syariah. IsDB mengucurkan dana hingga 100 juta dolar AS untuk proyek ini dan masih terus berjalan,” ungkapnya.

Menutup pemaparannya, Fallahi menyampaikan pandangan IsDB terhadap masa depan keuangan syariah di Indonesia. Menurutnya, outlook perkembangan keuangan syariah di Indonesia masih positif, namun berjalan secara tidak merata.

“Seperti halnya ekonomi Indonesia, keuangan syariah berkembang, tapi masih uneven. Namun, jika kita bisa mengidentifikasi tantangannya dan memberikan solusi, maka kita bisa menjaga prospek positif ini,” kata Fallahi.

Ia menegaskan bahwa selama ada komitmen dari pemerintah dan regulator, serta langkah-langkah strategis untuk mengatasi tantangan-tantangan utama, maka keuangan syariah Indonesia dapat berkembang menjadi sistem keuangan yang besar dan berkelanjutan. “Diagnosa tantangannya, berikan solusinya, dan kita akan punya faktor-faktor pendukung untuk menjaga pertumbuhan ini,” kata Fallahi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement