REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesadaran tentang sistem ekonomi Islam yang etis dan berkelanjutan berpotensi menjadi solusi atas berbagai tantangan seperti kemiskinan, ketimpangan, korupsi, dan ketidakstabilan ekonomi. Ekonomi merupakan aspek mendasar dalam peradaban manusia, dan Islam menawarkan sistem yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab moral.
"Meningkatkan kesadaran tentang sistem ekonomi Islam yang etis dan berkelanjutan dapat memberikan solusi bagi banyak tantangan yang kita hadapi saat ini," ujar Mohammed Anwar Al Balushi dari Oman Daily Observer dikutip Zawya, Ahad (30/3/2025).
Lebih lanjut ia menerangkan, untuk memahami ekonomi Islam, perlu meninjau kembali praktik bisnis Nabi Muhammad SAW. "Sebelum menjadi Rasul, beliau dikenal sebagai pedagang yang jujur dan mendapat gelar "Al Ameen" (yang terpercaya). Etika bisnisnya menjadi dasar dari prinsip ekonomi Islam yang menekankan keadilan, transparansi, dan keseimbangan dalam perdagangan," tuturnya.
Sayangnya, aspek ekonomi ini sering diabaikan dalam masyarakat Muslim modern. Padahal, sistem ekonomi Islam menawarkan alternatif bagi kapitalisme dan sosialisme, yang memiliki berbagai kelemahan seperti ketimpangan pendapatan dan ketidakefisienan.
Ekonomi Islam berprinsip pada keadilan (Aadl), kesetaraan (Ihsan), dan larangan eksploitasi (zulm). Sistem ini melarang riba, mendorong zakat, serta mendukung bagi hasil dalam bisnis melalui Mudarabah dan Musharakah. Islam juga melarang penimbunan harta dan praktik monopoli, menekankan keuntungan yang etis serta distribusi yang adil.
Pemikir Muslim seperti Ibn Khaldun (1332–1406) telah lama menekankan pentingnya tenaga kerja produktif, pajak yang adil, serta peran negara dalam mengatur pasar tanpa menekan kebebasan wirausaha. Dalam Muqaddimah, ia menyebut perdagangan sebagai upaya meningkatkan modal melalui jual beli, tetapi memperingatkan agar negara tidak menghambat kegiatan ekonomi.
Menurut Al Balushi, penting untuk meninjau kembali Seerah (biografi) Nabi Muhammad SAW dengan fokus pada praktik ekonominya. "Kita perlu belajar dari bagaimana beliau menjalankan bisnis, mengelola risiko, dan memastikan keadilan dalam transaksi," katanya.