REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menegaskan keberadaan para pengusaha memegang peranan penting dalam pengembangan ekonomi dan syariah di Indonesia. Oleh karena itu, Kiai Ma'ruf mendorong berbagai upaya untuk memperbanyak pengusaha Muslim atau berbasis syariah.
Atas arahan itu, bank syariah pun semakin didorong untuk menggarap kue-kue besar dari segmen korporasi demi meningkatkan pangsa dan kontribusi perekonomian. Pasalnya, salah satu kendala saat ini adalah produk wholesale perbankan syariah belum selengkap bank konvensional.
"Wholesale produk yang penting seperti cash management dan trade finance sudah ada dan dari segi keunggulan, keunggulan utamanya tentu kesesuaian dengan prinsip syariah, tapi dari segi fitur operasional, rasanya sama dengan fitur yang konvensional," ujar Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Universitas Indonesia, Rahmatina Awaliah Kasri kepada Republika, Senin (16/10/2023).
Dikonfirmasi terpisah, pengamat ekonomi syariah dari Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibisono menyebut hal yang lebih relevan untuk dibahas adalah kesiapan dari bank syariah dalam menyiapkan produk pembiayaan tersebut. Terutama, kemampuan mitigasi dan menyerap risiko kerugian.
"Kalau Wapres ingin lebih banyak pengusaha menggunakan bank syariah, maka yang lebih urgent adalah kesiapan bank syariah untuk masuk ke segmen wholesale, terutama kemampuan mitigasi dan menyerap risiko kerugian. Hal ini karena pembiayaan korporat melibatkan ukuran pendanaan yang tinggi dan membutuhkan kapasitas penilaian pembiayaan yang lebih kompleks, terkait kelayakan bisnis, risiko usaha, struktur pembiayaan yang sesuai dengan profil usaha debitur, hingga penilaian karakter debitur," ujarnya.
Isu krusial berikutnya adalah tata kelola pembiayaan yang kuat di mana antara pihak penilai di bank syariah dan debitur benar-benar tidak memiliki konflik kepentingan, sehingga mencegah terjadinya moral hazard atau perilaku yang tidak bermoral dalam pemberian pembiayaan.
"Kapasitas dan moralitas pengelola bank syariah harus benar-benar teruji sehingga pemberian pembiayaan murni didasarkan atas pertimbangan kelayakan bisnis, bukan atas faktor kedekatan atau bahkan karena suap," ujarnya.
Bila merujuk pada pengalaman kegagalan Bank Muamalat ketika pertama kali mencoba masuk ke segmen wholesale, saat itu pembiayaan macet melonjak tinggi. Hal ini harus menjadi pelajaran berharga bagi semua bank syariah yang ingin masuk ke segmen wholesale agar benar-benar mempersiapkan kapasitas dan moralitas pengelola bank.
"Jika memiliki kapasitas dan kemampuan menyerap risiko, peluang wholesale adalah besar bagi bank syariah, terutama bank syariah dengan modal besar," ucapnya.
Misalnya, pembiayaan untuk sektor infrastruktur. Umumnya, proyek itu membutuhkan pembiayaan jangka panjang, cocok dengan skema-skema syariah seperti ijarah atau murabahah. Namun aktiva bank yang bersifat jangka panjang tentu membutuhkan manajemen likuiditas yang memadai agar tidak terjadi ketidakcocokan dengan kewajiban bank yang umumnya jangka pendek.
"Secara singkat, jika bank syariah sudah memiliki kesiapan, peluang untuk masuk ke segmen wholesale adalah besar, tanpa harus ada imbauan ke pengusaha," terangnya lagi.