Selasa 29 Apr 2025 15:37 WIB

Wamen BUMN Yakin Ekonomi Syariah Jadi Andalan 5 Tahun ke Depan

Inovasi dibutuhkan untuk mengatasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Menteri Investasi & Hilirisasi/Kepala BKPM dan CEO BPI Danantara Rosan Roeslani (keempat kanan) bersama Plt Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Bob T Ananta (kelima kiri), dan Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Muliaman D Hadad (ketiga kanan) foto bersama usai membuka acara BSI Global Islamic Finance Summit (GIFS) 2025 di Jakarta, Selasa (29/4/2025). Bank Syariah Indonesia menggelar Global Islamic Finance Summit (GIFS) 2025 yang bertajuk Transformative Islamic Finance as Catalyst for Growth itu menjadi ajang pertemuan Internasional tahunan Bank Syariah Indonesia. 
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Menteri Investasi & Hilirisasi/Kepala BKPM dan CEO BPI Danantara Rosan Roeslani (keempat kanan) bersama Plt Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Bob T Ananta (kelima kiri), dan Komisaris Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk. Muliaman D Hadad (ketiga kanan) foto bersama usai membuka acara BSI Global Islamic Finance Summit (GIFS) 2025 di Jakarta, Selasa (29/4/2025). Bank Syariah Indonesia menggelar Global Islamic Finance Summit (GIFS) 2025 yang bertajuk Transformative Islamic Finance as Catalyst for Growth itu menjadi ajang pertemuan Internasional tahunan Bank Syariah Indonesia. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kartika Wirjoatmodjo, menegaskan bahwa ekonomi Islam akan menjadi salah satu strategi utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional lima tahun ke depan. Hal ini disampaikan dalam gelaran BSI Global Islamic Finance Summit (BSI GIFS) 2025 yang berlangsung di The Ritz-Carlton Pacific Place, Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Menurut Tiko sapaan akrab Kartika, salah satu tantangan serius yang dihadapi saat ini adalah rendahnya tingkat keterisian kawasan industri halal. Ia menyebut, masih terbatasnya infrastruktur pendukung dan akses terhadap bahan baku menjadi faktor penghambat utama yang menyebabkan kawasan tersebut belum optimal dimanfaatkan oleh pelaku usaha.

Baca Juga

“Produsen produk halal perlu didorong melalui pendekatan tradisional agar mereka mau memproduksi di kawasan industri halal, begitu juga dengan investor baru. Namun, ketersediaan infrastruktur yang memadai dan akses bahan baku masih menjadi tantangan,” ujar Tiko.

Lebih lanjut, Tiko menekankan perlunya meninjau kembali fungsi kawasan industri halal agar tidak semata-mata berfokus pada sektor manufaktur. Ia mendorong perluasan fungsi kawasan ini untuk mendukung sektor-sektor lain yang juga potensial secara ekonomi dan sosial.

“Kawasan ini perlu dikaji ulang manfaatnya agar tidak hanya fokus pada manufaktur, tapi juga bisa dikembangkan ke sektor lain, seperti wisata kesehatan di kawasan Kaiha. Dalam hal ini, kolaborasi dengan lembaga pemerintah sangat penting untuk mendorong pengembangan wilayah tersebut,” ungkapnya.

Tiko juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara sektor swasta, BUMN, dan lembaga keuangan syariah dalam membangun kawasan industri halal yang terintegrasi dan berkelanjutan. Ia menyebut, dibutuhkan inovasi untuk menjembatani kesenjangan antara pelaku industri halal dan sektor keuangan.

 “Inovasi dibutuhkan untuk mengatasi ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran antara sektor keuangan dan industri halal. Di satu sisi, pelaku industri halal belum akrab dengan produk-produk keuangan. Di sisi lain, penyedia layanan keuangan juga kesulitan mengidentifikasi siapa saja pelaku industri halal,” jelasnya.

Seiring dengan itu, percepatan sertifikasi halal serta pengembangan produk perbankan syariah yang menyasar pelaku industri halal juga menjadi hal yang mendesak. Tiko memaparkan bahwa potensi keuangan dalam ekosistem halal sangat besar dan perlu segera dimanfaatkan.

“Perkiraan saat ini menunjukkan adanya potensi pembiayaan sebesar Rp 212 triliun dan potensi keuangan sebesar Rp 150,8 triliun dalam ekosistem ini. Ini menunjukkan peluang pertumbuhan yang sangat besar serta peran penting lembaga keuangan seperti BSI dalam mempercepat pengembangan ekonomi halal,” ujarnya.

Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 8 persen pada 2029. Salah satu strategi utama untuk mencapai target tersebut adalah dengan mengoptimalkan potensi ekonomi syariah sebagai sumber pertumbuhan baru.

 “Ini dapat dicapai melalui pengembangan sektor pariwisata, percepatan produksi produk industri halal, makanan dan minuman, farmasi dan kosmetik, serta memperluas sektor keuangan sosial syariah untuk mengatasi kemiskinan,” terang Tiko.

Ia juga menyampaikan strategi ini akan turut mendorong ekspansi digitalisasi dan penguatan ekonomi berbasis komunitas. Konsep golden tech space dan community-based economy diyakini akan menjadi penopang pertumbuhan ekonomi ke depan.

Strategi ini berpotensi mendorong ekspansi teknologi digital dan ekonomi komunitas, yang bisa berkontribusi pada pencapaian target pertumbuhan 8 persen pada 2029,” kata Tiko.

Tiko juga menekankan bahwa integrasi prinsip-prinsip ekonomi Islam ke berbagai sektor akan menciptakan pertumbuhan yang tidak hanya berkelanjutan, tetapi juga inklusif. Tujuannya adalah menciptakan keadilan sosial dan mengurangi tingkat kemiskinan secara nyata.

“Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip ekonomi Islam ke dalam sektor-sektor strategis, kita tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, tetapi juga memastikan inklusivitas sosial dan pengentasan kemiskinan,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement