REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatatkan adanya gap yang dalam antara angka literasi keuangan syariah sebesar 39 persen dan inklusi keuangan syariah yang hanya mencapai 12 persen. Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengatakan itu merupakan anomali, dan harus segera ditangani untuk menciptakan keselaran.
“Ini satu anomali yang luar biasa yang terjadi dimana angka literasi bukan hanya lebih tinggi daripada angka inklusi, tapi tiga kali lipat. Benar-benar anomali yang luar biasa,” ujar Mahendra dalam agenda Puncak Acara Gebyar Ramadhan Keuangan Syariah (Gerak Syariah) 2025 di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa (25/3/2025).
Mahendra mengaku berusaha memahami data anomali tersebut. Ia menduga persoalannya ada pada kurangnya ketersediaan akses keuangan syariah kepada masyarakat, padahal pengetahuan atau pemahaman sudah ada.
“Jadi, isunya bukan pemahaman, pengetahuan, dan kefasihan terhadap sektor maupun lembaga dan produk jasa keuangan syariahnya, tapi memang karena tanda petik kita semua yang belum mampu menyediakan akses itu. Saya duga ini persoalannya,” ungkapnya.
Mahendra meminta kepada jajaran OJK beserta semua stakeholder terkait untuk menjadikan itu sebagai tantangan. Lantas, bersama-sama untuk menjangkau lebih banyak masyarakat dalam upaya melakukan pengembangan keuangan syariah.
“Jangan sampai apa yang sudah baik dalam literasinya itu, karena ketidakadaan akses, menjadi kontra produktif, menjadi skeptis dan apatis. Setelah paham, mengerti, tapi tidak bisa akses, akhirnya mungkin merasa ‘sudahlah karena kami tidak bisa diberikan kesempatan’. Saya rasa respons kita harus jelas dalam hal ini,” ujarnya.
Mahendra menekankan bahwa survei mengenai tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah tersebut dimaksudkan untuk diantaranya menindaklanjuti kemungkinan-kemungkinan kendala yang terjadi, seperti masih minimnya penyediaan produk keuangan syariah.
“Mungkin dari semua agen laku pandai hanya sekian persen yang juga sekaligus menyediakan produk keuangan syariah. Pertanyaannya kenapa begitu? Mestinya kan bisa semua,” tuturnya.
Sebagai informasi, laku pandai adalah akronim dari layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif, yakni program OJK untuk penyediaan layanan perbankan atau layanan keuangan lainnya melalui kerja sama dengan pihak lain (agen bank), dan didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.
Dengan adanya agen laku pandai, Mahendra menuturkan, tinggal perlu diberi pelatihan untuk bisa menyediakan produk keuangan syariahnya. Mahendra menunjukkan narasi gregetan, karena menurut penuturannya, upaya meningkatkan literasi keuangan syariah telah dilakukan ‘setengah mati’, tetapi justru ketika literasinya sudah kuat, inklusinya malah rendah.
“Tolong kita perdalami ini bersama-sama dan kita jadikan target. Ayok kita jadikan itu tujuan bersama untuk kita lakukan sepanjang tahun ini, dan kita lihat hasil perkembangannya, pada saat kesempatan kita melakukan Gerak Syariah pada 2026,” terangnya.