REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) bersama United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), siap mengembangkan Green Zakat Framework dan bertekad menjadi yang terdepan dalam implementasinya pada masa mendatang.
Wakil Direktur Utama BSI Bob Tyasika Ananta mengatakan, inisiatif Green Zakat (Zakat Hijau) telah bersama-sama diluncurkan dalam acara World Zakat and Waqf Forum pada November 2024 di Jakarta. Kali ini, BSI dan BAZNAS melibatkan UNDP, lembaga PBB yang bergerak dalam pembangunan berkelanjutan, untuk pengembangan kerangka kerja tersebut.
Bob menegaskan, upaya pengembangan Green Zakat Framework menjadi semakin penting karena keuangan berkelanjutan menjadi bagian dari Asta Cita pemerintah. Tujuannya memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam, dan budaya serta mendorong kemandirian bangsa melalui ekonomi hijau dan ekonomi biru.
“Hal ini juga merupakan upaya mengatasi isu perubahan iklim, yang memerlukan tindakan dan kebijakan yang mampu mendorong transformasi sektor keuangan. BSI sebagai lembaga keuangan syariah di Indonesia memiliki komitmen yang tinggi untuk turut berperan aktif dalam mewujudkan cita-cita tersebut termasuk dukungan terhadap pencapaian Net Zero Emission Indonesia pada 2060 atau lebih cepat,” ujarnya dalam sambutan pada acara focus group discussion (FGD) Green Zakat Framework di Jakarta, Senin (17/3/2025).
Upaya BSI itu pun dilakukan berkesinambungan dan dilakukan dari tahun-tahun sebelumnya. Seperti pada 4 Maret 2024 dalam acara peluncuran Climate Risk Management and Scenario Analysis (CRMS) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), BSI menjadi 1 dari 7 bank yang menandatangani deklarasi komitmen ini.
Komitmen BSI terkait penerapan keuangan berkelanjutan pun dibuktikan melalui sejumlah langkah nyata. Penguatan tata kelola keuangan berkelanjutan terus dilakukan BSI, salah satunya dengan melakukan pengembangan Digital Carbon Tracking. Inisiatif ini menjadikan BSI sebagai bank syariah pertama yang melakukan penghitungan emisi karbon.
Pekan lalu, BSI juga telah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Bappenas untuk memperkuat kolaborasi dalam pengembangan ekosistem ekonomi syariah di Indonesia. Zakat menjadi instrumen keuangan sosial syariah yang sangat esensial di Indonesia.
“Terkait konsep Green Zakat, BSI selama ini sudah mengeksplorasi pendayagunaan dana zakat sebagai potensi pendanaan baru yang inovatif untuk mendukung program-program sosial dan lingkungan terkait perubahan iklim sesuai prinsip kepatuhan syariah. Semangat ini menciptakan nilai (value creation) ESG yang holistik dan semakin mengukuhkan keselarasan dan kekhasan antara prinsip syariah dan keuangan berkelanjutan,” kata Bob menegaskan.

Sebagai gambaran, BSI sebagai bank syariah mengalokasikan 2,5 persen dari pendapatan operasionalnya sebagai zakat korporasi. BSI telah menyalurkan zakat perusahaan sebesar Rp 232 miliar tahun 2024.
Jumlah penerima manfaat total mencapai 225.700 orang yang tersebar di bidang kemanusiaan 145.600 orang (65 persen), bidang ekonomi 37.500 orang (17 persen), pendidikan 23.500 orang (10 persen), bidang kesehatan 14.800 orang (7 persen), dan dakwah serta advokasi 4.300 orang (2 persen).
Oleh karena itu menurut Bob, FGD ini akan menjadi sarana menyampaikan perkembangan penyusunan Green Zakat Framework dan menghimpun aspirasi dari para pemangku kepentingan terkait. Harapannya, ke depan dapat membantu proses penyempurnaan Green Zakat Framework yang sesuai dengan standar nasional dan internasional.
Dengan demikian salah satu instrumen keuangan syariah ini semakin mampu menjawab tantangan-tantangan pembangunan berkelanjutan dan aksi iklim yang inklusif.
Melalui FGD dan tindaklanjutnya ke depan, BSI bersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait akan semakin mumpuni dalam mendukung pembangunan rendah karbon, pelestarian lingkungan pemberdayaan masyarakat yang tangguh, dan aktivitas-aktivitas sosial lainnya yang secara kolektif mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
“Selanjutnya dalam beberapa waktu ke depan, seiring dengan kerangka kerja yang sudah tersusun, kita akan bersama-sama mengeksplorasi ide-ide pilot untuk implementasi Green Zakat secara nyata sehingga dapat menjadi rujukan dan direplikasi untuk melipatgandakan dampak positif, bukan hanya untuk para pelaku zakat dan keuangan sosial di Indonesia, melainkan juga di tingkat global. Kita berharap, Green Zakat menjadi sumbangsih yang signifikan dari Indonesia menyusul Green Sukuk dan Green Waqf yang sudah lebih dulu mengudara,” tutup Bob penuh optimisme.
Dalam kesempatan tersebut, Pimpinan BAZNAS Rizaludin Kurniawan mengatakan, Green Zakat Framework bertujuan mendorong perubahan paradigma zakat yang lebih peduli lingkungan. Melalui FGD ini, peran kerangka kerja tersebut menjadi dasar bagaimana ekosistem zakat dapat diintegrasikan dengan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG.
“Dengan FGD ini, kerangka kerja Green Zakat ke depan dapat diterapkan di tingkat subnasional, memastikan keselarasannya dengan ekosistem pembiayaan Islam yang lebih luas dan struktur pengelolaan zakat lokal,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Tim Pembiayaan Pembangunan UNDP Indonesia, Nila Murti mengatakan, inisiatif ini berupaya mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam praktik zakat. Dengan demikian dapat lebih memposisikan zakat sebagai instrumen keuangan utama untuk pelestarian lingkungan, ketahanan iklim, dan pengentasan kemiskinan.
“Zakat telah lama dikenal sebagai pilar solidaritas sosial karena menghimpun orang untuk membantu memberikan dukungan penting bagi mereka yang membutuhkan. Zakat memang memiliki misi utama untuk pengentasan kemiskinan. Namun, dengan kerangka kerja ini zakat juga dapat berkontribusi besar terhadap agenda lingkungan, iklim, dan keberlanjutan,” ujarnya.

Melalui kerangka kerja ini, UNDP juga menurutnya ingin memastikan bahwa zakat dapat berkontribusi pada aksi iklim dan ketahanan sosial secara inklusif dan transformatif. Ini menambah nilai kebermanfaatan zakat dan memperluas dampaknya kepada masyarakat.
UNDP menilai, Indonesia menghadapi kesenjangan pembiayaan sebesar 1,7 triliun dolar AS untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Indonesia diperkirakan membutuhkan tambahan 24 miliar dolar AS setiap tahun untuk target pengurangan emisi. Pasalnya Indonesia merupakan penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keenam di dunia yang berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon global.
“Oleh karena itu keuangan Islam menawarkan peluang yang belum dimanfaatkan untuk mendukung transisi negara ini ke ekonomi rendah karbon,” lanjutnya.
Sebagai gambaran, dengan mayoritas penduduk muslim dan industri halal senilai triliunan rupiah, Indonesia memiliki potensi yang signifikan untuk memanfaatkan zakat sebagai alat pembiayaan berkelanjutan dan hijau. Pengumpulan zakat Indonesia telah tumbuh secara signifikan, mencapai sekitar 1,3 miliar dolar AS pada 2022 dan sekitar 2 miliar dolar AS pada paruh pertama 2023.
Tren peningkatan ini merupakan potensi besar zakat sebagai sumber daya keuangan utama di Indonesia. Di mana potensinya sangat besar untuk berkontribusi pada ketahanan iklim dan program kesejahteraan sosial negara ini. Adapun dalam FGD tersebut mempertemukan para pemangku kepentingan utama dari keuangan Islam.
Termasuk lembaga zakat, bank syariah, regulator, akademisi, dan LSM, untuk memberikan wawasan strategis dan menyempurnakan Framework Green Zakat. Sehingga memastikan penerapan praktisnya di masa mendatang. Mengutip data BAZNAS, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 75 persen anggaran perlindungan sosial dalam APBN Indonesia.