Jumat 27 Dec 2024 23:34 WIB

Berkaca dari Perkembangan Ekonomi Syariah Malaysia, Bagaimana Prospek Eksyar Indonesia?

Perkembangan ekonomi syariah Malaysia mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi .

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
 Perkembangan ekonomi syariah Malaysia mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi .
Foto: Islamitijara.com
Perkembangan ekonomi syariah Malaysia mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi .

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan ekonomi syariah Malaysia mencatatkan pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Ekonom Center of Sharia Economic Development Institute for Development of Economics and Finance (CSED Indef) Hakam Naja mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan ekonomi syariah, dengan menjadikan Malaysia sebagai benchmark. 

Menurut data State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) 2023/2024, Malaysia merupakan negara yang selama 10 tahun terakhir selalu menjadi ranking satu mengenai perbankan syariah. Adapun Indonesia merangkak, dan laporan 2023 mencatat Indonesia berada di peringkat ketiga, di bawah Arab Saudi. Indikator yang dinilai dalam pemeringkatan tersebut meliputi enam indikator, yakni Islamic finance, halal food, muslim friendly travel, modest fashion, media and recreation, dan pharmaceuticals-cosmetics. 

“Kita ranking ketiga tapi skornya hampir sepertiganya Malaysia. Angka GIEI (global Islamic economy indikator) Malaysia 193,2, sedangkan Indonesia 80,1. Jadi PR besar kalau kita mau mengejar Malaysia yang sangat lincah dalam mengembangkan ekonomi syariah,” Naja dalam diskusi publik bertajuk ‘Outlook Ekonomi Syariah 2025: Kontribusi Ekonomi Syariah untuk Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen’ yang digelar secara daring, Jumat (27/12/2024).

Kendati tertinggal cukup renggang dengan Malaysia, Indonesia punya potensi besar dari segi jumlah pasar di dalam negeri. Jumlah penduduk Indonesia tercatat mencapai hingga 281 juta dengan sebanyak 245 juta orang diantaranya atau 87 persen merupakan penduduk muslim, sementara itu jumlah penduduk Malaysia secara keseluruhan saja mencapai 34 juta. Kondisi itu pula yang menempatkan Indonesia berapa di peringkat teratas sebagai negara OKI dengan Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi, dengan angka 1,371 triliun dolar AS, sedangkan Malaysia berada di peringkat keenam dengan angka PDB 416 triliun dolar AS. 

Perhatian pada UMKM 

Untuk mengejar ketertinggalan dengan Malaysia, Naja mengatakan, Indonesia perlu lebih berkonsentrasi pada sektor-sektor paling dominan, yakni usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk bisa meningkatkan ekonomi nasional, khususnya ekonomi syariah. Jumlah UMKM Indoensia sangat besar mencapai hingga 99,99 persen dengan lapangan kerja 97 persen. 

“Kita harusnya konsen di UMKM, ini masa depan kita yang selama ini tidak diperhatikan. Kalau kita menggarap ini, kita akan melenting, akan loncat indah kalau UMKM diperhatikan,” ujar Naja. 

Menurut catatannya, total aset perbankan syariah di Indonesia, termasuk BPRS, mencapai hingga Rp 918 triliun dengan pangsa pasar sebesar 7,44 persen. Angka tersebut masih jauh dibandingkan dengan Malaysia yang sebesar Rp4.226 triliun, atau empat kali lipat, dengan pangsa pasar mencapai 37 persen pada 2024. 

Tapi dilihat dari angka pembiayaan UMKM, persentasenya di Malaysia berada di angka 15 persen, sedangkan pembiayaan UMKM oleh perbankan syariah di Indonesia mencapai 17,7 persen. 

“Harusnya di-push lagi lebih kencang, saya harapkan pada tahun depan 30 persen pembiayaan UMKM,” kata Naja. 

Tujuh Poin Prospektif Perbankan Syariah Indonesia 

Lebih lanjut, Naja menjelaskan mengenai beberapa poin yang menjadi prospek perbankan syariah Indonesia ke depan. Pertama, mengenai spin-off unit usaha syariah (UUS) dan merger Bank Umum Syariah (BUS)/UUS. 

Sebagaimana amanat dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2023 disebutkan bahwa bank dengan aset UUS mencapai 50 persen dari total aset induknya atau aset UUS minimal Rp50 triliun wajib melakukan spin-off menjadi BUS paling lambat tahun 2026. Contohnya, UUS BTN (Rp55,54 triliun) dan UUS CIMB Niaga (Rp65,99 triliun). CIMB Niaga diketahui adalah bank komersial grup di Malaysia. 

“Jadi, orang Malaysia berdagang di Indonesia jago, bahkan orang CIMB Niaga pernah menyampaikan bisa lompat 700 persen dalam 10 tahun. Luar biasa, maka saya kira ke depan spin-off, proses merger, antar bank syariah atau unit usaha syariah harus kita dorong,” tuturnya. 

Kedua, konversi bank pembangunan daerah (BPD) menjadi BUS. Naja menuturkan beberapa BPD telah melakukan langkah konversi menjadi BUS, seperti Bank Aceh pada 2016, Bank NTB pada 2018, dan Bank Riau pada 2022. Dikabarkan nantinya akan menyusul pula BPD Sulsel, BPD Sulbar, dan BPD Sumbar. 

“Konversi ini paling signifikan, betul-betul dari konvensional pindah ke syariah. Kita harus dukung supaya pekerjaan mendongkrak potensi Indonesia yang luar biasa terus dilakukan dan masa depan ada di perbankan syariah,” jelasnya. 

Ketiga, digitalisasi dan inklusi literasi. Naja menyebut, digitalisasi ke depan tidak terelakkan. Menurut penuturannya, di Malaysia, sebanyak 40 persen bank yang mengajukan izin digital adalah bank syariah. 

Adapun di Indonesia sudah ada beberapa bank pula, misalnya saja BSI yang meluncurkan superapps Byond baru-baru ini. Namun menurutnya, masih kurang greget di Indonesia, apalagi ketika menyasar generasi milenial dan gen z. 

“Masalah keamanan harus jadi kunci karena di dunia digital keamanan adalah hal yang sangat mutlak dan signifikan. Berbahaya kalau mengabaikan,” ujar dia. 

Keempat, ekosistem ekonomi syariah dan industri halal. Naja menuturkan, hal itu menyinkronkan ekonomi syariah, perbankan syariah, dan keuangan syariah agar bertumbuh, sehingga industri halal harus berkembang. 

“Tidak ada ekonomi syariah bisa tumbuh tanpa berpadu dengan sektor riil, keuangan, dan perbankan. Maka mestinya dengan penduduk muslim yang 245 juta itu ekonomi syariah adalah masa depan Indonesia untuk mencapai 8 persen pada 2028,” tegasnya. 

Kelima, ekonomi syariah sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Menurut perkiraan Naja, dengan tantangan ekonomi yang sedemikian berat, pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa berada di angka 5 persen pada tahun depan, lalu naik menjadi 6 persen pada 2026, 7 persen pada 2027, dan hingga mencapai 8 persen pada 2028. 

“Ekonomi syariah menjadi salah satu kunci penting untuk kita bisa menjadikan pengungkit ekonomi ke depan,” tuturnya.

Keenam, prospek ekonomi hijau atau green economy. Naja menyebut, implemntasi ESG dalam dunia bisnis sejalan dengan nilai maqashid syariah dalam ekonomi syariah, bisa menjadi kekuatan perbankan syariah berkembang pesat. "Ekonomi syariah menjadi kunci karena konsep yang diterapkan di dunia perbankan yang sekarang pro lingkungan sudah ter-cover, dan tentu saja industri perbankan syariah adalah industri yang sangat siap," tuturnya.

Ketujuh, hilirisasi. Naja mengatakan, pengolahan sumber daya alam Indonesia untuk memajukan ekonomi melalui pengembangan industri manufaktur dan sektor keuangan serta perbankan syariah. "Termasuk didirikannya bank emas atau bullion bank," kata Naja.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement