Ahad 24 Sep 2023 10:23 WIB

Gen Z Banyak Terjebak Pinjol, Ikuti Lima Pengelolaan Keuangan Secara Syariah Ini

Kejomplangan literasi dan inklusi jadi salah satu penyebab banyaknya korban pinjol.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Gita Amanda
Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah/Dosen Institut Tazkia Murniati Mukhlisin.
Foto: Dok Pribadi
Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah/Dosen Institut Tazkia Murniati Mukhlisin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dan Keuangan Syariah, Murniati Mukhlisin, mengatakan saat ini generasi muda masih banyak yang menyepelekan utang. Salah satu penyebabnya adalah adanya kejomplangan antara literasi dan inklusi.

Menurut survei OJK 2022, generasi muda yang sudah mengenyam pendidikan SMA memiliki tingkat literasi sebesar 52,88 persen dan yang sudah mengenyam perguruan tinggi sebesar 62,42 persen. Sedangkan tingkat inklusinya di kelompok SMA adalah 90,46 persen dan kelompok perguruan tinggi adalah 96,51 persen. 

Baca Juga

"Kejomplangan antara literasi dan inklusi menjadi salah satu penyebab banyaknya korban pinjol terbanyak di skala usia ini," katanya kepada Republika, Ahad (24/9/2023).

OJK melaporkan pada Juni yang lalu bahwa usia 19-34 tahun terdeteksi menerima dana pinjol aktif di rekeningnya yaitu dari sebanyak  10,91 juta entitas dengan nilai Rp 26,87 triliun. Kredit macet juga didominasi grup yang sama yaitu sebanyak 343,663 peminjam dengan jumlah kredit macet sebesar Rp 43,67 miliar.  

"Motifnya rata-rata konsumtif. Ini baru pinjol legal belum lagi pinjol ilegal yang tidak terdekteksi dan menggunakan mode yang berbeda," tuturnya.

Padahal, dengan banyak tunggakan utang membuat generasi muda sulit dalam mendapat pekerjaan hingga mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Karena pentingnya kewajiban melunasi utang, Islam telah mengingatkan bahwa seseorang yang tidak melunasi utangnya artinya dia sudah makan harta orang lain secara bathil sehingga dikecam di Surah Al Baqarah 188.

Jika utangnya masih ada hingga meninggal dunia, jiwanya terkatung-katung. Hadist Nabi Muhammad SAW, "jiwa seseorang mukmin itu tergantung pada utangnya, sampai dilunasinya"(HR. Tirmidzi no. 1079 dan Ibnu Majah no. 2413).

Oleh karena itu, diperlukan kemampuan merencanakan keuangan, baik konvensional maupun syariah untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Tentu saja agar yang melakukan perencanaan tersebut dapat memenuhi impian keuangannya yang dari satu orang berbeda.  

"Perencanaan yang baik dapat mengatasi masalah masyarakat modern terutama generasi muda yang menganggape sepele dengan utang. Padahal seperti kasus pinjol di atas, nama dan profil nasabah yang masuk kredit macet itu akan tersimpan di database Bank Indonesia dan OJK yang suatu hari akan menyulitkan mereka untuk bertransaksi dengan bank dan bahkan bekerja di instansi-instansi bergengsi," ujarnya.

"Merencanakan keuangan secara syariah juga dalam tujuan menjadikan perencanaan keuangan berbasis maqashid syariah yaitu dalam hal perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, harta, harga diri, dan lingkungan," katanya menambahkan.

Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah ini melanjutkan, jika menggunakan model Sakinah Finance maka ada lima macam pengelolaan keuangan personal atau keluarga secara syariah. Kelima hal tersebut adalah mengelola pendapatan, mengelola kebutuhan, mengelola surplus dan defisit, mengelola impian, dan mengelola kontigensi.

"Merencanakan keuangan mengikuti prinsip syariah merupakan salah satu cara agar apa pun status keuangan kita dapat memberikan ketenangan dalam keluarga dan akan menjadi pemberat timbangan amal dimana di hari kiamat nanti akan diperhitungkan," katanya. 

Murniati menilai sistem keuangan syariah lembaga keuangan syariah saat ini sangatlah dibutuhkan karena akan menjadi mitra bagi seseorang atau keluarga ketika merencanakan keuangannya sesuai syariah. Jika ekosistemnya baik dan kuat, akan memudahkan seseorang untuk merencanakan keuangannya secara syariah. 

"Misalnya dia bisa ke bank syariah untuk kebutuhan penempatan gaji, memenuhi kebutuhan investasi dan pembiayaannya," ujarnya. 

Ia juga menambahkan dalam perencanaan keuangan syariah terdapat rumus yang dapat dipakai untuk membedakan pos pengeluaran pribadi dan keluarga. Rumus yang sering dipakai yaitu 10 persen untuk menunaikan zakat, infak, sedekah, wakaf; 20 persen untuk investasi dan asuransi; 30 persen untuk pembayaran utang; 40 persen untuk pemenuhan biaya hidup. 

Cara menerapkannya dapat dilakukan dengan memastikan niat dan tujuan mengelola keuangan, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT, menganalisis situasi dan kondisi keuangan saat ini. Kemudian, membuat strategi-strategi penyelesaian masalah keuangan yang dihadapi atau membuat perbaikan strategi pengelolaan keuangan untuk menghadapi masa jangka pendek, menengah, dan panjang.   

"Jadi sebenarnya berhutang itu tergantung dari jenis kebutuhannya, tingkat gaya hidup dan sikap seseorang terhadap utang. Yang jelas transaksi utang tidak dilarang secara prinsip Islam. Yang dilarang adalah yang tidak sesuai syariah, berlebihan, dan tidak dicatat," kata Dosen Institut Tazkia tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement