REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Erick Thohir menegaskan, terdapat empat industri di Indonesia yang membutuhkan dukungan, termasuk di antaranya berbentuk intervensi pemerintah.
Keempat industri tersebut merupakan andalan Indonesia demi mencapai misi Indonesia Emas 2045. Industri-industri tersebut merupakan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini dan di masa mendatang.
Erick, yang juga menjabat Menteri BUMN ini, menyebutkan keempat industri itu adalah industri yang basis prinsip-prinsip ekonomi syariah, industralisasi pangan, ekonomi digital, serta industri kreatif.
“Pada suatu kesempatan, saya ditanya media asing. Mereka menantang kita. Apakah kita yakin (perekonomian) Indonesia bisa tumbuh terus? Saya bilang yakin. Karena kita punya 4 kekuatan, yang harus kita jaga momentumnya, harus dirawat, dan ditumbuhkan,” ujar Erick.
Dia mengungkapkan hal ini saat memberikan pengarahan usai melantik Pengurus MES Wilayah Jawa Timur di Islamic Center, Surabaya, Rabu (14/6/2023). Ketua MES Wilayah Jawa Timur dijabat Emil Elestianto Dardak, yang kini menjabat Wakil Gubernur Jawa Timur.
Pertama, menurut Erick, industri berbasis ekonomi syariah butuh intervensi karena pertumbuhannya masih lambat. Sebagai gambaran, di industri perbankan saja, baru 7 persen dari keseluruhan perbankan yang berbasiskan syariah.
Padahal di negara terdekat bahkan di dunia, standarnya adalah 24- 31 persen. Hal tersebut, ujar Erick, menunjukkan perekonomian syariah masih berpotensi luar biasa.
Dia menambahkan, dalam mengembangkan perekonomian syariah, jangan hanya mengandalkan slogan Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
“Bagaimana ekonomi pesantren atau umat di akar rumput, harus ada keberpihakan. Kita harus berani mengintervensi ekonomi syariah, seperti pemerintah mengintervensi hilirisasi sumber daya alam. Keberpihakan yang harus didorong,’’ katanya.
Karena pada industri halal saja, Indonesia bukan produsen industrl halal. Indonesia, jelas dia, nomor satu sebagai konsumen industri halal. Produsen produk halal malah ada di Amerika, Taiwan, Cina, dan Brasil.
Kedua, kata Erick, intervensi pada pangan yang diperlukan karena Indonesia belum berhasil mengoptimalkan industrialisasi pangan. Ini harus diperhatikan karena yang akan terangkat nantinya adalah para petani, nelayan, dan pekerja yang ada dalam ekosistemnya.
“Jangan kaget jika Vietnam atau Thailand mengekspor ikan besar dan banyak, jangan-jangan itu ikan dari kita. Ini juga harus intervensi. Lahan yang sempit bukan alasan karena dengan industrialisasi pangan, kita bisa meningkatkan produktivitas. Tinggal kemauannya saja,” tegas Erick.
Ketiga, Erick menyebutkan intervensi untuk mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi digital. Menurutnya, ekonomi digital tidak hanya tak terhindarkan, tetapi juga menyeramkan. Terutama jika Indonesia membiarkan dirinya terbuka sehingga hanya menjadi pasar.
Itulah alasan dirinya mendorong konsolidasi keputusan pemerintah bahwa proteksi pada ekonomi digital harus terjadi. Agar tidak jadi pasar.
Kita tidak anti robotik, anti AI (kecerdasan buatan), atau anti ChatGPT. Tetapi ketika lapangan pekerjaan yang hilang lebih banyak dari pekerjaan yang tercipta, itu menyeramkan. Apakah kita mau tetap jadi market atau produser. Ingat 40 persen ekonomi di Asia Tenggara ada di Indonesia,” kata Erick.
Keempat, Erick mengatakan intervensi pun perlu diterapkan atas Industri kreatif. Menurutnya, sangat disayangkan jika industri kreatif dalam negeri tak diperkuat karena beberapa subsektor industri ini sangat berpotensi semakin tumbuh, mulai dari industri fesyen kreatif, musik, hingga film.
“Kita harus menjadi penyeimbang yang mengingatkan antara lain jika terjadi ketidakseimbangan antara produk asing dan domestik. Maka perlu adanya tindakan,” kata Erick.