Jumat 04 Jul 2014 06:14 WIB

Puasa Mualaf

Kewajiban menjalankan syariat Islam, termasuk di dalamnya puasa, tentu didasarkan pada kondisi seseorang yang terkena kewajiban.
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Kewajiban menjalankan syariat Islam, termasuk di dalamnya puasa, tentu didasarkan pada kondisi seseorang yang terkena kewajiban.

Diasuh oleh Asrorun Ni'am Sholeh

Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Assalamualaikum wr wb

Saya seorang mualaf yang baru memeluk Islam sebulan ini. Apakah saya juga sudah diwajibkan berpuasa? Bagaimana kalau saya tidak kuat menjalaninya? Apakah ada denda atau hal lain yang harus saya lakukan sebagai pengganti puasa tersebut. Terima kasih

Lumointang-Manado

Waalaikumussalam wr wb

Syarat wajib berpuasa itu ada empat, yaitu Islam, baligh, berakal, dan memiliki kemampuan untuk menjalankan puasa. Jika seseorang telah memenuhi empat syarat di atas, maka dia memiliki kewajiban untuk melaksanakan puasa.

Dengan demikian, seorang mualaf yang telah mengikrarkan diri sebagai Muslim dan sudah dewasa, dapat membedakan baik dan buruk, dan secara fisik memiliki kemampuan menjalankan ibadah puasa, maka Anda wajib menjalankan ibadah puasa karena syaratnya sudah terpenuhi.

Kemampuan dan/atau kekuatan untuk menjalankan ibadah puasa itu tidak hanya klaim subjektif, akan tetapi ditandai dengan indikator-indikator yang terukur, baik yang bersifat hissi maupun syar’i.

Indikator yang bersifat hissi misalnya dia sehat fisik, segar bugar, usia memungkinkan untuk berpuasa serta tidak ada penyakit yang berpantang dengan aktivitas puasa. Sedang indikator syar’i, dia tidak sedang haid atau nifas.

Kewajiban menjalankan syariat Islam, termasuk di dalamnya puasa, tentu didasarkan pada kondisi seseorang yang terkena kewajiban. Karena pada hakikatnya, “Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai kemampuannya.” (QS al-Baqarah: 286).

Dengan demikian, jika seseorang karena sakit atau karena sebab lain kemudian dia tidak kuat untuk melaksanakan puasa, dan ketidakkuatannya hingga menyebabkan masyaqqah (kesulitan dan bahaya yang nyata), maka dia boleh berbuka dan menggantinya pada hari lain.

Sebaliknya, jika kondisi tidak kuatnya hanya karena faktor belum terbiasa, misalnya lapar dan dahaga, tapi kondisinya tidak sampai menyebabkan masyaqqah, maka dia tetap harus menjalankan puasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement