Senin 06 Jun 2011 13:22 WIB

Bagaimana Menentukan Margin Keuntungan Suatu Produk yang dibolehkan Syari?

Busana Muslim / Ilustrasi
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Busana Muslim / Ilustrasi

Pertanyaan :

Assalamu'alaikum wr wb

Saya pernah mendengar bahwa setiap keuntungan barang yang dijual itu harus sesuai dengan persentase dalam syariah, apakah betul demikian?

Berapa persen batas keuntungan maksimal yang dibolehkan dalam syar'i untuk barang berupa makanan dan bukan makanan?

Kalau ada pembagian barang lain apa saja dan berapa persentasenya?

Syukron atas bantuannya

-ritonga-

Waalaikumsalaam wr wb

Pak Ritonga yang dimuliakan Allah,

Penetapan margin keuntungan terhadap suatu produk yang akan dijual sangat dipengaruhi oleh biaya-biaya yang dikeluarkan sampai barang tersebut diterima oleh konsumen. Produk yang sama bisa saja berbeda harganya di tempat yang berbeda, karena ada tambahan biaya pengiriman. Penetapan harga dengan menghitung biaya-biaya biasanya kita kenal dengan istilah Cost Oriented Pricing, dimana : 

HARGA JUAL = HARGA BELI + COST + MARK UP.

Selain itu kita juga mengenal istilah Demand Oriented Pricing adalah suatu cara penetapan harga yang didasarkan pada banyaknya permintaan. Jika permintaan naik harga pun cenderung naik, dan sebaliknya jika permintaan turun maka harga cenderung turun walaupun mungkin biaya yang di keluarkan sama saja. Hal ini pernah terjadi pada masa Rasulullah dimana harga-harga naik karena permintaan tinggi sedang stock terbatas. Diriwayatkan oleh Anas bin malik ra, sebagaimana berikut : "Orang orang mengatakan, wahai Rasulullah, harga mulai mahal. Patoklah harga untuk kami." Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan melapangkan rizki, dan saya sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezalimanpun dalam darah dan harta." (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Kita juga mengenal istilah Competition Oriented Pricing, yaitu suatu cara penetapan harga yang didasarkan pada harga pesaing. Tentunya dalam hal ini persaingannya harus sehat, tidak boleh monopoli. Dalam persaingan yang sehat akan ditemukan harga yang ideal, niscaya kalau ada yang menetapkan harga semena-mena maka dia akan bangkrut dengan sendirinya karena kalah bersaing.

Idealnya dalam usaha apapun ada pesaing tidak dan boleh dimonopoli oleh orang atau kelompok tertentu yang memiliki modal besar sehingga dalam menetapkan harga suatu produk tidak semena-mena. Islam dengan tegas melarang monopoli dan menimbun barang untuk mengambil keuntungan sendiri, tanpa memperhatikan kebutuhan orang miskin dan membutuhkan. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Ma'mar bin Abdillah ra, Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah menimbun barang melainkan orang yang berdosa." (HR. Muslim).

Adapun tentang berapa besaran prosentase keuntungan yang harus diambil baik  produk makanan atau non makanan, saya belum menemukan nash yang membatasinya. Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Urwah bin Bariqy ra. "Bahwasanya Rasulullah saw pernah memberi kepadanya satu dinar untuk membeli seekor kambing korban atau seekor kambing. Lalu Urwah membeli dua ekor dengan uang itu dan dijualnya yang seekor dengan harga satu dinar. Lalu ia menyerahkan seekor kambing dan uang yang satu dinar kepada Nabi saw. Maka Nabi saw mendoakan agar jual belinya diberkahi Allah, sehingga walaupun Urwah membelikan debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya" (HR. Imam lima kecuali Nasa'i. Bukhori telah meriwayatkan hadits tersebut dalam kandungan hadits itu, tetapi lafalnya tidak seperti itu).

Dalam hadis ini Urwah yang ditugaskan Rasul saw membeli seekor kambing dengan harga satu dinar, tetapi Urwah dapat membeli dua ekor kambing dengan harga satu dinar, dan menjual yang satunya dengan harga satu dinar. Urwah mampu membawakan Rasul saw dengan satu ekor kambing dan uang satu dinar dari keuntungan modal yang digulirkan.

Namun demikian, ketika menetapkan harga suatu produk baik barang makanan maupun non makanan, terutama barang sembako, harus mengacu kepada harga pasar dan kepentingan bersama (harga yang adil), tidak hanya keuntungan semata, karena Ekonomi Islam lebih mengutamakan manfaat (benefit) dalam berusaha, dan bukan hanya keuntungan (profit) semata.  Perniagaan dalam Islam harus dilandasi atas keridhaan diantara si penjual dan si pembeli, dan tidak boleh saling menzalimi (QS An-Nisaa:29), dengan menetapkan harga semena-mena. Janganlah kita menari-nari di atas penderitaan orang miskin dengan mengambil keuntungan yang melampaui batas dan pemerintah harus intervensi ketika terjadi kenaikan harga di luar kewajaran yang memberatkan rakyat. Wallahu'alam.

Wassalaamualaikum wr wb

Deni Lubis

Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Rubrik konsultasi ini diasuh oleh Dr Irfan Syauqi Beik, Program Studi Ekonomi Syariah Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Kirimkan pertanyaan Anda ke: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement