Kamis 28 Sep 2017 18:39 WIB

Sikap Tauhid, Motivasi, dan Kompetisi

Mohammad Munif Ridwan
Foto: dokpri
Mohammad Munif Ridwan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh:  Mohammad Munif Ridwan

Motivasi, baik secara individu maupun dalam kehidupan organisasi, tetap relevan dan menarik untuk dibahas. Motivasi memberi peran signifikan terhadap kinerja sumber daya insani. Penulis teringat dengan sebuah formula yang dibuat oleh IBM. Ya, IBM sebuah perusahaan komputer legendaris itu, pernah membuat formulasi, bahwa  Quality = 10% knowledge + 90% attitude. 

Artinya, kualitas diri dan perusahaan bergantung pada (hanya) 10 persen pengetahuan (knowledge) ditambah dengan 90 persen sikap (attitude). Lebih jauh dijabarkan lagi, bahwa sikap terdiri atas motivasi diri dan kemampuan memotivasi, kualitas berkomunikasi, dan kapasitas kepemimpinan (leadership). 

Bagi seorang Muslim, tak ada sumber inspirasi yang paling jitu mengarahkan motivasi dirinya dalam bekerja selain pemahaman tauhidnya. Tulisan ini terinspirasi oleh kuliah-kuliah tentang tauhid yang sering disampaikan oleh seorang cendekiawan Muslim, Imaduddin Abdulrahim (almarhum), pada tahun 80-90an. Beliau mengaitkan bagaimana sikap tauhid seorang Muslim akan sangat memengaruhi motivasi hidupnya dalam rangka menjadi hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Di dalam Alquran, Allah SWT berfirman, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran: 140).

Ayat tersebut turun pada saat kaum Muslim baru saja mengalami kekalahan pada perang Uhud. Sebagian sahabat ketika itu merasa mentang-mentang berada di pihak yang benar, berjuang bersama mendampingi Rasulullah SAW yang mulia, maka kemenangan pasti akan  mereka raih. Hingga kemudian mereka justru menjadi lengah. Pesan Rasulullah agar jangan sekali-sekali meninggalkan posnya pun dilanggar dan lebih tertarik dengan harta rampasan perang. Akhirnya musuh pun berhasil memukul balik kaum Muslimin.

Peristiwa ini telah menjadi pengalaman dan pengajaran yang berharga bagi para sahabat ketika itu, bahwa hukum Allah adalah objektif. Sejak itu, kaum Muslimin menjadi sadar bahwa tantangan setiap perjuangan senantiasa wajib dihadapi dengan kewaspadaan dan perjuangan yang maksimal. Kemungkinan untuk menang atau kalah terbuka bagi setiap kontestan dengan probabilitas (kemungkinan) fifty-fifty. Dengan penghayatan akan sunnatullah ini, maka setiap Muslim yang konsisten sikap tauhidnya akan selalu memiliki motivasi dan kegairahan berjuang secara maksimal. 

Coba perhatikan penelitian David McClelland dan John Atkinson yang telah menjadi klasik ini. Mereka menemukan bahwa kadar motivasi seseorang akan berada pada puncak paling tinggi jika ia dihadapkan pada tugas yang kemungkinan akan berhasilnya sama dengan kemungkinan akan gagalnya (probabilitas 50 persen). Jika kemungkinan berhasilnya ditingkatkan terus di atas 50 persen, maka kadar motivasi itu justru menurun. Jika kemungkinan berhasil ini mencapai 100 persen, atau dengan kata lain keberhasilan itu sudah pasti akan diraih, maka kadar motivasi itu turun sampai nol. Maka, seorang mahasiswa tak akan termotivasi belajar dengan serius jika ia tahu bakal lulus ujian.

Sebaliknya, jika kemungkinan gagalnya juga 100 persen, maka motivasi itu juga turun sampai nol. Maka, seorang pemasar tak akan serius mengejar target pasarnya ketika tahu bahwa si target tak akan mungkin menjadi pelanggannya.

Nah, para pelaku industri syariah harus menginsafi pelajaran berharga di zaman Rasulullah ini. Jangan-jangan setelah mereka merasa berada di jalan yang benar, merasa berada di dalam barisan syariah, lalu mereka justru lengah. Mereka tak lagi memedulikan kualitas layanan, kapasitas teknologi, kemudahan akses/ jaringan, harga yang kompetitif dan sederet alasan rasional lain yang diharapkan oleh pelanggan atau nasabah.  

Jika itu terjadi, maka industri syariah hanya akan tertinggal di tengah masyarakat Islam yang besar. Sesuatu yang, tentu, tidak kita inginkan bersama. Wallahu a’lam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement