Ahad 27 Apr 2025 22:28 WIB

Tarif Trump dan Regulasi Tumpang Tindih Ancam UMKM Halal Nasional

Sebanyak 87 persen pelaku industri halal Indonesia merupakan UMKM.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ahmad Fikri Noor
Ilustrasi Logo Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ilustrasi Logo Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sistem ekonomi dan keuangan syariah nasional dinilai masih menghadapi sejumlah kerentanan struktural. Salah satu faktor utama adalah dominasi pelaku UMKM dalam industri halal yang belum diimbangi dengan dukungan pembiayaan memadai, serta regulasi antarinstansi yang tumpang tindih.

Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF Nur Hidayah mengungkapkan bahwa sebanyak 87 persen pelaku industri halal Indonesia merupakan UMKM. Namun, hanya 19 persen dari mereka yang memiliki akses terhadap pembiayaan syariah.

Baca Juga

"Ketika terjadi tekanan eksternal seperti tarif impor atau perang dagang global, dampaknya langsung dirasakan oleh pelaku usaha, terutama UMKM. Pembiayaan macet, konsumsi melemah, dan daya saing produk turun," ujar Nur Hidayah dalam diskusi publik bertajuk Dampak Perang Dagang Bagi Ekonomi dan Keuangan Syariah yang digelar daring, Jumat (25/4/2025).

Ia mencontohkan kebijakan tarif tinggi dari Amerika Serikat terhadap sejumlah produk Indonesia yang bisa menekan margin keuntungan UMKM hingga 23 persen. Dampaknya, output produksi bisa menurun drastis dan berujung pada ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Penurunan daya saing ini berisiko meningkatkan non-performing financing (NPF) di sektor keuangan syariah, yang berimbas pada kemampuan UMKM untuk memenuhi kewajiban cicilan pembiayaan," jelasnya.

Masalah lain yang turut memperlemah ketahanan ekonomi syariah Indonesia adalah fragmentasi kebijakan. Nur Hidayah merujuk laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mencatat adanya tumpang tindih kewenangan di antara lima kementerian dalam pengelolaan produk halal.

"Fragmentasi ini menyebabkan lambatnya respons terhadap dinamika pasar global dan menghambat potensi ekspor," kata dia.

Meski demikian, Indonesia disebut masih memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya dalam ekonomi halal global. Salah satunya melalui diversifikasi produk dan pasar, seperti yang dilakukan oleh Malaysia.

"Indonesia perlu melakukan hal yang sama, tidak hanya bergantung pada sektor makanan dan minuman halal, tetapi juga memperkuat sektor-sektor lainnya seperti fashion, kosmetik, dan bioteknologi halal," tutur dia.

Ia menambahkan, penguatan sistem keuangan syariah juga penting dilakukan dengan mengembangkan produk berbasis bagi hasil serta mengintegrasikan instrumen keuangan sosial seperti zakat, infak, dan wakaf dengan sektor keuangan formal.

"Peluang Indonesia untuk mengembangkan industri halal semakin terbuka, mengingat permintaan global terhadap produk halal semakin meningkat, terutama di negara-negara dengan mayoritas Muslim. Negara-negara di kawasan Afrika dan Timur Tengah menunjukkan pertumbuhan permintaan yang pesat, namun pasar tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan," ungkapnya.

“Indonesia harus memanfaatkan potensi ini dengan cara memperkuat diplomasi ekonomi syariah, seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga seperti Halal Development Corporation (HDC) dan JAKIM. Dengan memperkuat sertifikasi halal, mengembangkan produk inovatif, serta meningkatkan infrastruktur digital, Indonesia bisa menjadi pemimpin dalam industri halal global,” tegas Nur Hidayah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement