REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) merekomendasikan lima langkah strategis untuk memperkuat ekosistem asuransi syariah di Indonesia. Langkah ini diperlukan agar sektor asuransi syariah dapat lebih kompetitif dan sejalan dengan standar internasional, khususnya dalam menghadapi proses aksesi Indonesia ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Kepala PEBS FEB UI, Rahmatina Awaliah Kasri menegaskan bahwa meskipun asuransi syariah terus mengalami pertumbuhan, masih ada tantangan besar dalam aspek regulasi, investasi, literasi, dan daya saing industri. "OECD sendiri memiliki standar tinggi terkait keterbukaan pasar, transparansi, dan tata kelola perusahaan yang baik," ujar Rahmatina dalam peluncuran Policy Brief PEBS FEB UI, Senin (17/3/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa regulasi yang ketat masih menjadi tantangan bagi industri asuransi syariah di Indonesia. "Meskipun Indonesia telah menjadi salah satu dari delapan kandidat OECD sejak Februari 2024, berbagai indikator masih menunjukkan adanya pembatasan dalam aspek keterbukaan pasar yang dianggap tidak selaras dengan prinsip OECD. Salah satu sektor yang memiliki tingkat restriksi perdagangan tertinggi di Indonesia adalah sektor asuransi. Regulasi di sektor ini masih lebih ketat dibandingkan dengan negara-negara lainnya," jelasnya.
PEBS FEB UI memberikan lima rekomendasi utama untuk memperkuat asuransi syariah di Indonesia. Pertama, diversifikasi dan inovasi produk, menurutnya, produk asuransi syariah di Indonesia masih terbatas dan kurang beragam dibandingkan dengan produk asuransi konvensional. Oleh karena itu, PEBS FEB UI merekomendasikan pengembangan produk yang lebih inovatif dan sesuai dengan kebutuhan pasar.
"Jika kita melihat kinerja asuransi syariah, sebenarnya sektor ini terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun lalu, aset asuransi syariah mencapai 0,39 persen dari total aset industri asuransi, dengan pertumbuhan sebesar 5,13 persen dibandingkan tahun 2020," ungkap Rahmatina.
Namun, dibandingkan dengan investasi di sektor asuransi konvensional, masih terdapat kesenjangan yang besar. "Investasi asuransi syariah relatif stabil, tetapi mengalami sedikit stagnasi, sementara investasi di asuransi konvensional tumbuh secara signifikan—bahkan mencapai 12 kali lipat dibandingkan asuransi syariah," lanjutnya.
Rekomendasi kedua adalah penguatan modal dan struktur keuangan. Saat ini, industri asuransi syariah masih menghadapi tantangan dalam hal pemenuhan modal minimum sesuai ketentuan OJK.
"Pemenuhan modal minimum bagi perusahaan asuransi syariah sesuai dengan POJK 23/2023 ditetapkan sebesar Rp500 miliar untuk perusahaan asuransi syariah dan Rp1 triliun untuk perusahaan reasuransi syariah. Banyak perusahaan yang belum memiliki struktur modal yang kuat, sehingga berisiko mengalami tekanan finansial dan kesulitan bersaing dengan asuransi konvensional," papar Rahmatina.
Selain itu, kapasitas reasuransi syariah juga menjadi tantangan tersendiri. Pada 2024, rasio klaim terhadap kontribusi reasuransi syariah mencapai 93 perse , yang menunjukkan bahwa hampir seluruh kontribusi digunakan untuk membayar klaim.
Rekomendasi selanjutnya yakni penyesuaian regulasi untuk meningkatkan daya saing. Diketahui, regulasi yang berlaku saat ini dinilai masih membatasi pertumbuhan industri asuransi syariah.
"OECD menyoroti bahwa pembatasan ini dapat menghambat masuknya modal asing ke industri asuransi syariah Indonesia," kata Rahmatina.
Selain itu, batasan investasi luar negeri yang hanya 20 persen dari total investasi juga membatasi fleksibilitas perusahaan asuransi syariah dalam mengoptimalkan portofolio investasinya. "Restriksi regulasi terkait investasi luar negeri saat ini, di mana OJK hanya mengizinkan alokasi maksimal 20 persen dari total investasi untuk ditempatkan di luar negeri, membatasi fleksibilitas perusahaan asuransi syariah dalam mengoptimalkan portofolio investasinya," jelasnya.
Rekomendasi keempat adalah peningkatan SDM dan kompetensi profesional. Adapun, industri asuransi syariah masih menghadapi keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki keahlian khusus di bidang ini.
"Profesi seperti aktuaris syariah, underwriter, manajer risiko, dan manajer investasi masih sangat terbatas, sementara program pendidikan formal dan sertifikasi di bidang ini juga masih minim," kata Rahmatina.
Kerja sama antara universitas, regulator, dan industri perlu diperkuat untuk memastikan tersedianya tenaga profesional yang kompeten di bidang asuransi syariah.
Terakhir adalah meningkatkan literasi dan inklusi asuransi syariah. Saat ini, tingkat literasi dan inklusi asuransi syariah di Indonesia masih rendah.
"Jika kita lihat dari data, inklusi asuransi konvensional secara nasional mencapai 12,21 persen sementara asuransi syariah baru mencapai 1,17 persen. Dari sisi literasi, asuransi konvensional berada di angka 76 persen, sedangkan asuransi syariah baru mencapai 18,59 persen Artinya, masih ada ketimpangan yang sangat besar," ujar Rahmatina.
Selain itu, rendahnya daya beli masyarakat terhadap produk asuransi syariah menjadi tantangan besar. "Salah satu faktor utama adalah rendahnya PDB per kapita masyarakat Indonesia, yang berdampak pada keterjangkauan produk asuransi syariah. Padahal, kebutuhan akan perlindungan asuransi semakin meningkat, terutama pasca pandemi COVID-19," tambahnya.
Kelima rekomendasi ini diharapkan dapat membantu Indonesia dalam memperkuat industri asuransi syariah agar lebih kompetitif secara global. "Jika regulasi dan ekosistem industri asuransi syariah diperkuat, ini tidak hanya mendukung aksesi OECD tetapi juga meningkatkan daya saing industri keuangan syariah Indonesia di tingkat internasional," harap Rahmatina.