Jumat 10 May 2024 17:40 WIB

Kemenparekraf: Perlu Komitmen Pelaku Usaha untuk Wisata Halal

Pelaku usaha kerap keliru mengartikan wisata halal sebagai Islamisasi pariwisata.

Siluet perahu pinisi tradisional saat matahari terbenam di perairan Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur,  Kamis (11/5/2023).
Foto: EPA-EFE/MAST IRHAM
Siluet perahu pinisi tradisional saat matahari terbenam di perairan Labuan Bajo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/5/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO -- Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyatakan bahwa perlu komitmen dari para pelaku usaha untuk segera mengajukan sertifikasi halal demi mewujudkan wisata halal.

"Kemenparekraf terus memberikan pemahaman baik kepada industri maupun masyarakat, bahwa pariwisata halal ini bukan berarti mengislamkan pariwisata, tetapi bagaimana pelaku usaha itu berkomitmen, boleh saja menyediakan produk halal dan nonhalal, yang penting ada pernyataan dengan baik kalau ada yang nonhalal," kata Staf Ahli Pengembangan Bidang Usaha Kemenparekraf, Masruroh, di Labuan Bajo, NTT, belum lama ini.

Baca Juga

Masruroh menyampaikan hal tersebut dalam acara puncak Festival Syawal 1445 Hijriah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Ia menjelaskan, pariwisata halal pada dasarnya menekankan agar para pelaku wisata memberikan pelayanan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh umat Islam.

"Pariwisata halal masih rancu sebagai wisata religi atau wisata Muslim. Persepsi yang salah inilah yang menimbulkan ketakutan," ujar dia.

"Padahal, intinya itu ada extended services atau pelayanan kebutuhan dasar untuk wisatawan Muslim ketika dia berwisata, makanan dan minuman halalnya harus disediakan, tempat ibadah, dan lain sebagainya," kata dia menambahkan.

Adapun ada lima destinasi wisata prioritas yang para pelaku usahanya akan dikejar untuk mendaftarkan sertifikasi halal yakni Danau Toba di Sumatera Utara, Borobudur di Jawa Tengah, Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur, Mandalika di Nusa Tenggara Barat, dan Likupang di Sulawesi Utara.

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama RI juga telah mewajibkan produk makanan dan minuman; jasa penyembelihan dan hasil sembelihan; bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong untuk produk makanan dan minuman untuk memiliki sertifikasi halal paling lambat pada 17 Oktober 2024.

Direktur Kemitraan dan Pelayanan Audit Halal LPPOM MUI Muslich mengemukakan bahwa tantangan sertifikasi halal selama ini yakni sosialisasi pada UMKM karena belum menjadi prioritas.

"Tantangan sertifikasi halal yang kita alami selama ini, kalau yang skala besar kan sudah punya sumber daya yang cukup, ini tidak menjadi persoalan, kalau yang kecil, UMKM kan bukan prioritas," katanya.

Untuk itu, senada dengan Masruroh, ia menekankan pentingnya komitmen bagi pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal.

"Sepanjang pemiliknya punya komitmen untuk sertifikasi, di spektrum barang dan jasa yang luas ini, pasarnya sangat potensial, dan wisata halal ini bisa berjalan dengan baik. Intinya komitmen itu penting," ucap Muslich.

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement