REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, perekonomian di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) akan tumbuh lebih lambat pada tahun ini dibandingkan proyeksi sebelumnya. Hal ini lantaran masih berlangsungnya perang di Gaza, gangguan terhadap pelayaran di Laut Merah dan penurunan produksi minyak yang menyebabkan bertambahnya kerentanan tingginya tingkat utang dan meningkatnya biaya pinjaman.
"IMF merevisi perkiraan pertumbuhan kawasan pada tahun 2024 menjadi 2,7 persen dari 3,4 persen pada perkiraan regional bulan Oktober, karena konflik di Sudan dan Gaza, dan juga “pengurangan produksi minyak di GCC membebani aktivitas tahun ini”, kata Direktur Departemen Timur Tengah dan Asia Tengah Jihad Azour, pada Pertemuan Musim Semi 2024 dikutip Zawya Sabtu (20/4/2024).
Lebih lanjut ia mengatakan, pada 2025 pertumbuhan diproyeksikan menguat menjadi 4,2 persen karena dampak faktor-faktor sementara tersebut diasumsikan memudar secara bertahap. Namun, kerentanan masih tetap tinggi dalam konteks ketidakpastian yang lebih tinggi dari biasanya dan meningkatnya risiko-risiko negatif untuk konflik-konflik kecil di Gaza dan Israel tetap menjadi risiko-risiko utama, termasuk risiko eskalasi lebih lanjut atau konflik yang berlarut-larut.
"Masalah perdagangan dan gangguan perdagangan juga merupakan faktor negatif yang dapat berdampak pada beberapa negara yang berada di jalur perdagangan dan dapat berdampak pada perdagangan atau transaksi berjalan," tuturnya.
Diketahui, sejalan dengan tren global, inflasi di MENA, tidak termasuk Mesir dan Sudan, diperkirakan rata-rata sebesar 8,8 persen pada tahun 2024 dan 7,8 persen pada tahun depan. Sebelumnya, IMF menyatakan, mengembalikan inflasi ke sasarannya harus tetap menjadi prioritas setiap negera. Meski tren inflasi menggembirakan, namun dinilai belum mencapai target.