Sabtu 08 Apr 2023 22:12 WIB

Mahasiswa ITS Kembangkan Healing Tourism Suku Tengger

Larangan malima termasuk yang dilarang dalam agama Islam seperti berjudi dan berzina.

Petugas berjaga di pintu masuk wisata Gunung Bromo, Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (22/01/2023). Kawasan wisata Gunung Bromo ditutup sementara dari kunjungan wisatawan karena masyarakat Suku Tengger melaksanakan tradisi Wulan Kapitu atau bulan ketujuh dalam Kalender Suku Tengger dan kembali dibuka pada 23 Januari.
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Mada/Zk/rwa.
Petugas berjaga di pintu masuk wisata Gunung Bromo, Wonokitri, Tosari, Pasuruan, Jawa Timur, Minggu (22/01/2023). Kawasan wisata Gunung Bromo ditutup sementara dari kunjungan wisatawan karena masyarakat Suku Tengger melaksanakan tradisi Wulan Kapitu atau bulan ketujuh dalam Kalender Suku Tengger dan kembali dibuka pada 23 Januari.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya , Jawa Timur, menggagas pengembangan potensi budaya dan adat Suku Tengger sebagai healing tourism berbasis kearifan lokal di Indonesia.

"Potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger adalah masyarakat dan budayanya," kata Ketua tim mahasiswa ITS Mukhammad Akbar Makhbubi dalam keterangannya, Sabtu (8/4/2023).

Baca Juga

Mahasiswa yang kerap disapa Bobi ini menjelaskan dalam mencapai ketentraman dan kesejahteraan, masyarakat Suku Tengger hidup dengan mengabdikan diri pada aturan adat yang dikenal dengan larangan malima (lima ma) serta pedoman walima (lima wa).

Larangan malima tersebut adalah maling atau mencuri, main atau berjudi, madat atau mengonsumsi narkoba, minum atau mengonsumsi minuman keras, dan madon atau berzina. Sedangkan walima (lima wa) yaitu waras atau sehat, wareg atau cukup makan, wastra atau cukup sandang, wisma atau memiliki rumah, dan wasis atau bijaksana.

Selain itu, Suku Tengger berada di wilayah Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) yang menjadi salah satu atensi pariwisata Provinsi Jawa Timur.

"Keberadaan masyarakat Tengger yang hidup berdampingan dengan kawasan TNBTS dapat menjadi potensi dalam pengembangan healing tourism," ujar mahasiswa Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) ITS tersebut.

Ia memaparkan, dari hasil riset di Desa Adat Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, dan Desa Adat Wonokitri, Kabupaten Pasuruan, terdapat enam sensibilitas kultur yang dapat menjadi potensi pengembangan healing tourism pada Suku Tengger.

Kultur tersebut terdiri atas lunga atau berkebun, gegeni atau berkumpul di dapur atau tungku perapian, sanja atau bertamu menjelang senja, memidang atau berjemur diri, megeng atau meditasi, dan dedolan atau berkelana.

Kultur tersebut merupakan cara masyarakat Suku Tengger dalam memaknai budaya dan kegiatan sehari-hari. Dengan melakukan kegiatan itu dapat menimbulkan rasa senang, tenang, ikhlas, terbuka, dan damai dari masyarakat adat Suku Tengger.

"Kegiatan tersebut dinilai mampu mengurangi emosi negatif dan menjadi referensi pengembangan healing tourism," ujarnya.

Selanjutnya, kultur tersebut disusun menjadi satu rangkaian kegiatan dengan konsep cultural-healing tourism. Konsep tersebut memuat pencarian makna, pengurangan emosi negatif, dan keseimbangan interaksi.

"Konsep ini akan membawa wisatawan untuk dapat merasakan pengalaman healing dari kultur sehari-hari masyarakat adat Suku Tengger," ujar Bobi.

Bobi bersama empat rekannya dari Departemen PWK ITS berharap riset ini dapat berkembang sebagai bentuk kesiapan masyarakat dan infrastruktur penunjang wisata.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement