REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Dari serat agel di pedalaman Bangkalan, Madura, lahirlah karya tangan santri yang kini menembus pasar internasional hingga Swedia. Pemilik Daun Agel Handycraft, Dairobi memulai usaha sederhana bersama ibu-ibu pengungsi dua dekade silam saat dirinya masih menjadi santri. Kini, omzetnya menembus Rp1,5 miliar per tahun.
“Awalnya dimulai sekitar tahun 2000, saat terjadi konflik di Kalimantan, tepatnya di Sampit, tahun 2004. Kami (santri) ikut mendampingi para pengungsi, khususnya ibu-ibu, dengan kegiatan konseling untuk menghilangkan trauma. Kami ajari mereka merajut, awalnya pakai benang,” ujar Dairobi saat ditemui Republika dalam Pameran Festival Ekonomi Syariah Regional Jawa di Masjid Al-Akbar, Surabaya, Jumat (12/9/2025).
Dari situ, usaha kecil itu berkembang. Setelah mencoba serat agel sebagai bahan utama, Dairobi berhasil memproduksi tas yang diminati pasar luar negeri. “Manfaatnya besar. Omzet naik sampai 50 persen. Kalau dulu sekitar Rp100 juta per tahun, sekarang bisa Rp500 juta per tahun,” ujarnya.
Langkah Dairobi semakin mantap ketika Bank Indonesia hadir memberi pendampingan. Ia mendapat pelatihan manajemen keuangan, pemasaran digital, hingga difasilitasi dalam business matching. Dari situ, pembeli besar datang, bahkan rutin dari Singapura dan Swedia.
“Manfaat program BI besar. Omzet naik pesat dan pasar terbuka luas,” kata dia.
Cerita seperti Dairobi hanyalah satu potongan dari potensi besar ekonomi pesantren. Kepala Perwakilan BI Jawa Timur, Ibrahim, menegaskan peran pesantren dalam gerakan ekonomi syariah tak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang sejak 2014. Saat itu lahir koperasi pesantren yang kini berkembang menjadi Hebitren (Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren).
“Daripada semua kebutuhan dipasok dari luar, pesantren bisa mengembangkan sendiri. Kalau selama ini di pesantren terbiasa ngaji fikih, sekarang mari kita coba ngaji sugih, artinya menumbuhkan jiwa wirausaha sesuai potensi masing-masing pesantren,” ujarnya.
Kini, jumlah anggota Hebitren di Jawa Timur berkembang dari 17 menjadi 38 pesantren. Potensinya besar, sebab menurut data Kemenag 2025, ada 6.745 pesantren di Jatim dengan 923 ribu santri. Jika termasuk TPQ dan tahfiz, jumlahnya bisa mencapai 12 ribu.
“Dengan penduduk Jatim sekitar 42 juta jiwa, lebih dari 97 persen beragama Islam, potensi ekonomi syariah di sini sangat besar,” kata Ibrahim.
Potensi itu bukan lagi sebatas wacana. Salah satu contoh nyata ada di Mojokerto, di Pondok Pesantren Amanatul Ummah. Pesantren yang berdiri sejak 1998 ini kini menampung lebih dari 15 ribu santri dan mengelola 11 unit usaha. Total omzetnya mencapai Rp42,39 miliar per tahun dengan rata-rata pertumbuhan 19 persen.
Catatannya, 85 persen biaya operasional pesantren ditopang hasil usaha. Pendampingan BI hadir nyata di pesantren ini. Pengurus MTs Unggulan Amanatul Ummah, Mukhlis Ma’ruf, menyebut kolaborasi berjalan sejak tiga tahun lalu.
“Sejauh ini Bank Indonesia mendorong agar pesantren benar-benar mandiri, dari hulu ke hilir. Misalnya cabai ini, bibitnya dari Bank Indonesia, pendampingannya juga dari Bank Indonesia. Kemudian setelah panen, pemasarannya juga difasilitasi oleh Bank Indonesia,” tuturnya.
Penting dicatat, tidak semua usaha dijalankan langsung oleh santri. Beberapa unit, seperti pabrik air minum Afia, BnA Bakery, maupun produksi tahu-tempe, dikelola pekerja dari luar pesantren yang memang profesional di bidangnya. Santri tetap fokus pada belajar dan mengaji, sementara tenaga UMKM mengurus sisi teknis usaha. Dengan cara ini, kualitas produk tetap terjaga dan pesantren tetap mandiri secara finansial.
Namun, santri juga diberi ruang belajar praktik kewirausahaan, misalnya mengelola greenhouse cabai atau percetakan. Sementara itu, kebutuhan sehari-hari seperti tahu, tempe, dan roti diproduksi oleh pekerja luar pesantren, tetapi seluruh hasilnya dipasarkan di dalam pondok.
Pengelola pabrik tahu-tempe, Supartan mengaku setiap hari ia mengolah tiga kuintal kedelai. “Sekitar 1.100–1.500 potong tempe dan 3.000 potong tahu kami hasilkan tiap hari, semuanya khusus untuk konsumsi santri,” katanya.
Di sisi lain pondok, aroma roti hangat menyeruak dari BnA Bakery. Agung, pengelolanya, meracik roti, brownies, hingga bolu puding lembut. “Pasar utama kami di Pondok Amanatul Ummah, tapi harapannya bisa berkembang lebih luas. Tantangannya justru bagaimana mengembangkan produk ini agar bisa dikenal lebih banyak orang,” ujarnya.
Produksi hariannya minimal 150 roti dengan omzet Rp23–25 juta sebulan. Usaha air minum Afia juga tumbuh pesat. Hasbullah, pengelolanya, menyebut perputaran penjualannya sudah mencapai Rp300–400 juta per bulan.
“Alhamdulillah cukup untuk operasional. Kalau sudah upgrade mesin, targetnya naik minimal 30 persen keuntungan dan masuk ke retail modern,” katanya.
Dampak kemandirian itu juga menjalar ke masyarakat sekitar. Melalui program laundry, lebih dari 500 keluarga di tiga desa memperoleh penghasilan rata-rata Rp800 ribu per bulan. “Setiap kepala keluarga mendapat tanggung jawab mencuci 10 santri dengan gaji bulanan. Kini hampir semua rumah punya mesin cuci, tidak ada lagi yang manual,” tutur Mukhlis.
Ibrahim menegaskan, BI tidak bisa sendirian karena berperan sebagai AIR: Akselerator, Inisiator, dan Regulator. Pendampingan dilakukan bersama pemda, dinas, kementerian terkait, Kemenag, MUI, dan lain-lain. Ia juga menyebut sinergi dengan program Pemprov Jatim seperti OPOP (One Pesantren One Product) sebagai upaya memperkuat daya saing produk pesantren.
Lebih jauh, ia menyoroti persaingan global. Negara-negara non-muslim justru berlari cepat dalam ekonomi halal: Brasil dengan unggas, Australia dengan daging, Korea Selatan dengan wisata muslim, hingga Inggris dengan keuangan syariah.
“Menurut Global Islamic Economic Indicator, Indonesia saat ini peringkat 3 dunia. Nilai transaksi ekonomi syariah global pada 2023 mencapai 2,5 triliun dolar AS, diperkirakan naik jadi 3,5 triliun dolar AS pada 2028. Indonesia ada di dalamnya,” ungkap Ibrahim.
Semua semangat itu terangkum dalam Festival Ekonomi Syariah (FESyar) Jawa 2025 di Surabaya. Mengusung tema “Sinergi Ekonomi dan Keuangan Syariah Memperkuat Stabilitas dan Kemandirian Ekonomi Regional”, BI menekankan hilirisasi produk halal, pembiayaan syariah, dan literasi ekonomi.
Ibrahim menambahkan, ada tiga kunci agar pesantren bisa mandiri, yaitu konsistensi, inovasi, dan sinergi. Ia juga menekankan bahwa FESyar bukan sekadar pameran, melainkan gerakan bersama untuk memperkuat ekonomi syariah.