REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lima tahun setelah pandemi Covid-19, perilaku konsumen muslim mengalami transformasi besar. Jika sebelumnya digitalisasi menjadi fokus utama, kini mereka semakin mempertimbangkan aspek etika, moral, dan keberlanjutan dalam setiap keputusan konsumsi.
Menurut Managing Partner Inventure Yuswohady, pasca-pandemi dunia memasuki era Muslim 5.0, di mana konsumen muslim tidak lagi melihat hukum Islam sebagai aturan kaku, tetapi sebagai prinsip yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dan kemaslahatan umat.
"Digitalisasi yang masif saat pandemi memunculkan tren Muslim 4.0. Pasca pandemi, kita memasuki era Muslim 5.0 di mana konsumen muslim melihat hukum Islam bukanlah semata aturan kaku, tapi memiliki tujuan utama (maqashid) untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan kemaslahatan umat. Prinsip maqashid ini dipraktikkan secara adaptif mengikuti perkembangan zaman untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin," ujarnya dalam Indonesia Muslim Market Outlook (IMMO) 2025 di Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Salah satu faktor yang mendorong perubahan ini adalah percepatan perkembangan teknologi seperti artificial intelligence (AI), big data, blockchain, dan Internet of Things (IoT). Di sisi lain, disrupsi sosial dan politik juga turut memengaruhi perilaku konsumen muslim, seperti gerakan pemboikotan produk-produk yang dianggap mendukung Israel atau komunitas LGBT+.
Fenomena ethical consumerism semakin kuat di kalangan muslim. Mereka tidak hanya peduli pada aspek halal secara hukum, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan, dampak sosial, dan kesejahteraan umat dalam memilih produk.
Hal ini sejalan dengan konsep Society 5.0 yang diperkenalkan di Jepang, yaitu penggunaan teknologi untuk membangun masyarakat yang lebih humanis dan etis. Muslim 5.0 juga mengadopsi konsep ini dengan menekankan konsumsi yang sejalan dengan lima pilar maqashid syariah: menjaga agama, jiwa, akal, harta, dan generasi mendatang.
CEO Rumah Zakat, Irvan Nugraha, menegaskan bahwa konsumen muslim kini lebih sadar dengan isu-isu global yang memengaruhi keputusan mereka dalam berbelanja.
"Konsumen muslim semakin sadar dengan produk halal, dan semakin peduli dengan isu-isu global seperti Palestina, yang tercermin dalam fenomena pemboikotan produk-produk yang dianggap pro-Israel," ungkapnya.
Irvan juga menambahkan bahwa konsumsi kini dipandang sebagai bagian dari kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan, keadilan sosial, dan kesejahteraan umat. Dengan munculnya Muslim 5.0, perusahaan yang ingin bertahan di pasar muslim harus menyesuaikan strategi mereka. Tidak cukup hanya menawarkan produk halal, tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai moral, etika, dan dampak sosial dari produk yang mereka tawarkan.