Jumat 15 Mar 2024 16:26 WIB

Di Sidang TBT WTO, BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal Sebagai Perlindungan

Kewajiban sertifikasi halal di Indonesia adalah bentuk kehadiran negara.

Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, di Gedung Pusat WTO di Jenewa, Swiss, Kamis (14/3/2024).
Foto: Dok Republika
Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, di Gedung Pusat WTO di Jenewa, Swiss, Kamis (14/3/2024).

REPUBLIKA.CO.ID,JENEWA --- Menghadiri Sidang World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia terkait Technical Barriers to Trade (TBT) tahun 2024, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menegaskan kewajiban sertifikasi halal bagi produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana diwajibkan oleh regulasi Jaminan Produk Halal (JPH) adalah untuk mewujudkan perlindungan dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk.

Juga, meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal. Di sisi lain, kewajiban sertifikasi halal tidak menghambat produk nonhalal untuk beredar sepanjang memenuhi ketentuan regulasi.

Baca Juga

"Kewajiban sertifikasi halal di Indonesia adalah bentuk kehadiran negara untuk menjamin integritas kehalalan produk yang beredar dan dikonsumsi atau digunakan oleh masyarakat di mana Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia." papar Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham, di Gedung Pusat WTO di Jenewa, Swiss, Kamis (14/3/2024). 

"Indonesia juga menegaskan tidak akan melarang peredaran produk non-halal selama ada kepatuhan terhadap peraturan halal, yaitu dengan mencantumkan informasi non-halal pada kemasan produk dalam bentuk teks tertulis, gambar, atau display yang diperlukan untuk memberikan informasi kepada masyarakat konsumen di Indonesia sesuai dengan keyakinan mereka." lanjut Aqil. 

Kewajiban sertifikasi halal di Indonesia, lanjutnya, akan diberlakukan mulai Oktober 2024 sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 bagi tiga kelompok produk. Pertama, produk makanan dan minuman. Kedua, produk bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong untuk produk makanan dan minuman. Dan ketiga, jasa penyembelihan dan hasil sembelihan. 

"Adapun produk obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang berasal dari bahan tidak halal atau bahan yang belum bersumber dari sumber halal masih dapat diedarkan dan diperdagangkan di Indonesia dengan mencantumkan keterangan tidak halal pada produk." lanjut Aqil.

Pencantuman keterangan tidak halal tersebut dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan G/TBT/ N/IND/157 tentang Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Hayati, dan Alat Kesehatan. 

Pemberlakukan kewajiban sertifikasi halal bagi produk obat dan alat kesehatan, lanjutnya, dilaksanakan dengan ketentuan masa penahapan yang berbeda-beda. Bagi produk obat tradisional dan suplemen kesehatan, saat ini masih diberlakukan penahapan hingga 17 Oktober 2026.

Adapun bagi produk obat bebas dan obat keras diberlakukan masa penahapan hingga 17 Oktober 2029 dan 2034. Sedangkan bagi produk alat kesehatan penahapannya dilaksanakan sesuai kelas risikonya, dari yang terdekat pata tahun 2026 sampai dengan 2034. Sedangkan bagi produk biologi termasuk vaksin dan alat kesehatan kelas risiko D, ketentuan penahapannya diatur di dalam Peraturan Presiden. 

"Namun apabila alat kesehatan tersebut tidak mengandung unsur hewani maka tidak termasuk dalam kewajiban sertifikasi halal." paparnya. 


Di forum WTO tersebut, lanjutnya, saat ini Indonesia telah memberitahukan 6 regulasi JPH melalui Notifikasi bernomor G/TBT/N/IDN/159-164. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia menerima dan akan mempertimbangkan segala komentar dan masukan dari Anggota dan menanggapinya melalui Inquiry Point.

Aqil juga mengatakan Indonesia membuka peluang kerja sama internasional dengan lembaga sertifikasi halal luar negeri atau LHLN melalui kerja sama saling pengakuan dan penerimaan sertifikat halal. Kerja sama BPJPH dan LHLN milik pemerintah dan/atau lembaga keagamaan Islam di negara setempat dilaksanakan atas dasar perjanjian bilateral G-to-G antara Indonesia dan negara mitra.

"Seluruh usulan kerja sama LHLN dari negara anggota WTO diterima oleh BPJPH dan akan ditindaklanjuti sesuai ketentuan regulasi. Ruang lingkup sertifikasi LHLN  akan tergantung pada kompetensi LHLN seperti sumber daya manusia dan laboratorium." paparnya. 

Sejumlah pertemuan bilateral terkait kerja sama internasional JPH juga menjadi bagian dari agenda BPJPH di Swiss. Rabu lalu, Bilateral meeting antara BPJPH dan delegasi Uni Eropa membahas percepatan asesmen 16 LHLN dari delapan negara Uni Eropa, yakni Spanyol, Jerman, Italia, Denmark, Perancis, Belgia, Lithuania, dan Belanda. BPJPH juga telah mengagendakan bilateral meeting dengan delegasi Inggris pada hari ini. 

Pada pertemuan ini, BPJPH menegaskan bahwa Indonesia tidak menerima sertifikasi lintas negara dan lintas batas dalam hal saling pengakuan penerimaan sertifikasi halal (Mutual recognition acceptance) untuk monitoring dan penelusuran produk yang telah disertifikasi. Adapun produk yang belum bersertifikat halal karena tidak tersedianya LHLN di negara asal dapat langsung diajukan sertifikasi halalnya ke BPJPH. Selanjutnya, pada  hari Jumat besok, BPJPH akan menggelar bilateral meeting dengan delegasi tuan rumah Swiss. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement