REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Industri farmasi di tanah air wajib bersertifikat halal. Hal ini sudah tercantum dalam Undang Undang No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal, obat atau produk farmasi termasuk ke dalam produk yang wajib bersertifikat halal.
"Karena selain sebagai mandatory, dengan upaya yang teliti dan berkomitmen terhadap proses sertifikasi halal, maka perusahaan farmasi diyakini dapat memperoleh kepercayaan konsumen Muslim serta memperluas pangsa pasar mereka," ujar Expert of Laboratory Service & Halal Auditor, LPPOM MUI, Priyo Wahyudi dalam Webinar Road to Show INDONESIA Halal Industry & Islamic Finance Expo 2023 dengan Tema “Persiapan Industri Farmasi Menghadapi Wajib Halal” dikutip Jumat (23/6/2023).
Priyo pun menerangkan tentang alur proses sertifikasi halal kepada para pelaku industri farmasi peserta webinar. Menurut Priyo, pertama-tama pelaku usaha mendaftar melalui situs web SIHALAL. Setelah itu, BPJPH memeriksa kelengkapan dokumen dan menetapkan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
"Selanjutnya, Lembaga Pemeriksa Halal ini memeriksa dan/atau menguji kehalalan produk. Berikutnya, MUI menetapkan kehalalan produk melalui Sidang Fatwa Halal. Setelah itu, barulah BPJPH menerbitkan sertifikat halal," ujarnya.
Ia juga menekankan, produk halal hanya menggunakan bahan baku yang sudah terjamin halal, dan fasilitas produksinya juga bebas dari najis atau bahan haram.
"Prinsip inilah yang juga berlaku didalam sertifikasi halal pada industri farmasi," ucap Priyo.
Ia kembali menambahkan, dalam Perpres No. 6 Tahun 2023 pada Pasal 2 ayat 1 diterangkan bahwa; obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dalam pasal tersebut juga diterangkan tentang cakupan obat yang wajib halal yaitu; bahan obat, obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, obat tradisional, suplemen kesehatan, dan obat kuasi.
"Untuk cakupan produk biologi, dijelaskan pada Pasal 2 ayat 4. Cakupan produk biologi yang wajib disertifikasi adalah: enzim, antibodi monoclonal, hormon, sel punca, terapi gen, vaksin, produk darah, produk rekombinan DNA, dan immunosera," ungkapnya.
Priyo juga menjelaskan, cakupan untuk alat kesehatan yang harus disertifikasi halal juga dijelskan di pasal tersebut yakni reagen in vitro dan kalibrator, perangkat lunak, bahan, dan material yang digunakan tunggal atau kombinasi, untuk menghalangi pembuahan, desinfeksi alat kesehatan, dan pengujian in vitro terhadap specimen dari tubuh manusia, dan dapat mengandung obat yang tidak mencapai kerja utama pada tubuh manusia melalui proses farmakologi, imunologi, atau metabolisme untuk dapat membantu fungsi atau kerja yang diinginkan.
"Dalam Pasal 2 ayat 6 Perpres No. 6 Tahun 2023 juga dijelaskan bahwa alat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) hanya bagi yang berasal dari hewan dan/atau mengandung unsur hewan," ucapnya.