Selasa 13 Jun 2023 20:07 WIB

Respons Pelaku Usaha Terhadap Peluang Wisata Muslim Halal Masih Rendah

Penerapan wisata halal di Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Gita Amanda
Ketua Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Unisba, Prof Dr Atie Rachmiatie M Si dalam acara FDG dan Diseminasi Muslim Friendly Tourism di Hotel Prime Park Bandung, Selasa (13/6/2023).
Foto: Unisba
Ketua Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Unisba, Prof Dr Atie Rachmiatie M Si dalam acara FDG dan Diseminasi Muslim Friendly Tourism di Hotel Prime Park Bandung, Selasa (13/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Penduduk Indonesia mayoritas muslim. Namun penerapan wisata halal di Indonesia masih kalah jauh dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura. Negara tetangga tersebut, sudah mampu menerapkan wisata halal.

"Terinspirasi di Thailand, destinasi wisata dan hotel di sana itu turisnya banyak. Meskipun tidak menggunakan label halal. Tapi pada kenyataannya mereka sudah menerapkan wisata halal," ujar Ketua Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Unisba, Prof Dr Atie Rachmiatie M Si dalam acara FDG dan Diseminasi Muslim Friendly Tourism di Hotel Prime Park Bandung, Selasa (13/6/2023).

Baca Juga

Atie menilai, Indonesia belum menerapkan konsep pariwisata halal karena masih rendahnya pelaku usaha wisata yang merespons peluang wisata halal. Alasannya, mereka dianggap sulit dan high cost.

"Selain itu, masih rendahnya SDM terkait dengan pemahaman dan kesedaran serta permintaan terhadap wisata halal, termasuk pelaku usah dan aparat terkait," katanya.

photo
Ketua Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Unisba, Prof Dr Atie Rachmiatie M Si dalam acara FDG dan Diseminasi Muslim Friendly Tourism di Hotel Prime Park Bandung, Selasa (13/6/2023). - (Unisba)

 

Selain itu, kata dia, masih ada kesenjangan yang menunjukkan ada perbedaan persepsi, pemahamam, kesadaran para pemangku kepentingan tentang konsep wisata halal.

Atie menjelaskan, model ekosistem pariwisata halal atau Muslim Friendly Tourism diawali dengan regulasi yang pertama adalah kelebambagaan harus terintegrasi, jelas kewenangan, dan memberi kemudahan bagi pelaku indutsri.

Kedua, kata dia, industri Pariwisata nya yang meliputi hotel dan restoran, objek wisata dan travel, kepastian dan kemudahan usaha. Ketiga, pemasaran dan teknologi digital melalui transportasi informasi dan sosialisasi.

"Dan keempat produk wisata yang meliputi kualitas produk dan memiliki jaminan halal dan thoyyib," kata Atie.

Menurutnya, target dari adanya ekosistem pariwisata halal itu adalah bagi industri bisa terus mengembangkan bisnisnya. Sedangkan pelaku usaha di daerah diberi kemudahan usaha dan sertifikasi, lalu pemerintah daerah memberi aturan yang terintegrasi.

"Esensi dari penerapan pariwisata halal adalah memandu agar semua elemen yang berbahaya dan merusak bagi kehidupan manusia dan lingkungan dapat dihilangkan. Patiwisata halal juga bermanfaat tidak hanya untuk muslim tapi juga non-muslim," jelasnya.

Sementara itu, Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr Sapta Nirwandar, wisata halal pada prinsipnya, adalah pelayanan. Jadi dalam wisata halal, jangan hanya daerah tertentu yang dikembangkan untuk wisata halalnya.

"Justru yang harus ditingkatkan dan dikembangkan dalam wisata halal ini servis-nya atau pelayanannya yang sesuai dengan aturan syariat Islam dalam industri wisata halal," katanya.

Pada prinsipnya, kata dia, pariwisata halal itu adalah tambahan pelayanan untuk kebutuhan wisatawan muslim. Selain itu, perjalanan wisata dengan nilai Islam dan wisata halal itu tidak hanya yang bersifat religi saja seperti mengunjungi masjid atau makam. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement