REPUBLIKA.CO.ID, Maqashid syariah bila diartikan secara bahasa adalah beberapa tujuan syariah. Tujuan utama dari maqashid syariah adalah merealisasikan kemanfaatan untuk umat manusia (mashâlih al-ibâd) baik urusan dunia maupun urusan akhirat.
Dalam ekonomi Iislam dalam hal ini perbankan syariah, maqashid syariah bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dan mencegah kemudharatan dalam kegiatan ekonomi maqashid. Penerapan maqashid syariah pada perbankan syariah juga sudah sesuai dengan memerhatikan indikator pada maqashid al-syari’ah yaitu agama (al-din), jiwa (al-nafs),akal (al-‘aql),harta (al-mal),dan keturunan (al-nasl).
Penerapan maqashid syariah dapat dilihat pada instrumen investasi dengan akad mudharabah; jaminan dalam akad mudharabah dan musyarakah; transaksi multi akad: rahn dan pemanfaatan marhun atau barang gadai dan jual beli emas secara tidak tunai. Sehingga, maqashid syariah adalah inti dari semua analisis ekonomi, terutama yang berkaitan dengan masalah kemiskinan, distribusi kekayaan, dan pembangunan ekonomi
Pertama dalam investasi dengan akad mudharabah maka akan ditinjau berdasarkan dua hal yakni seseorang mempunyai nilai lebih terhadap harta dan mempunyai keterampilan dalam mengelola hartanya, maka diharuskan untuk melakukan serta mengelola secara pribadi. Apabila usaha berhasil, maka semua nilai untung yang didapat menjadi haknya. Sejalan dengan maqashid syari’ah keuntungan dari harta sebagai hak pemilik, apabila tanpa bantuan serta hak orang lain dalam dana tersebut disesuaikan seperti dalam QS (Fushilat [41]: 46) dan QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Kedua, apabila seseorang mempunyai harta namun tidak dapat atau tidak mempunyai keahlian dalam mengelola 100 sendirian, maka ia dapat menyerahkan pada pihak lainnya dalam melakukan pengelolaan. Ini menjadi satu dari berbagai tujuan.
Selanjutnya, maqashid syariah pada jaminan dalam akad mudharabah dan musyarakah. Pada prinsipnya adalah pembiayaan mudharabah tanpa jaminan yang sesuai definisi dari akad mudharabah dan musyarakah sesuai fatwa DSN MUI Nomor 08 Tahun 2000.
Selain itu, maqashid syariah juga bisa diterapkan pada transaksi multi akad yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan pasar, memperbesar keuntungan, meminimalisir resiko, dan lainnya. Dalam fiqh sendiri akad-akad pelengkap diberikan dispensasi berbeda dengan akan inti, artinya hal-hal yang harusnya dilarang pada akad tetapi diperbolehkan pada akad pelengkap hal ini sesuai urf dan keterangan para ahli yang mendapat pengesahan oleh dewan pengawas syariah atas dasar kaidah yaitu sesuai prinsip akad yang melengkapi diberikan tolerir berbagai hal yang dilarang dan tidak dapat diberikan tolerir pada saat berdiri sendiri.
Selanjutnya, maqashid syariah pada rahn dan pemanfaatan marhun atau barang gadai. Berdasarkan fatwa DSN mengenai rahn diterangkan bahwasanya pinjaman dilakukan dengan menggadai suatu barang untuk jaminan piutang atau rahn yang diizinkan dan jaminan uang menggunakan suatu barang berharga seperti emas yang diizinkan sesuai nash Alqur’an, hadits, serta faedah.
Maqashid syariah selanjutnya adalah penerapan pada transaksi jual beli emas secara tidak tunai. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum jual beli emas secara tidak tunai. Menurut mayoritas fuqaha (mazhab Hanafi, Maliki, Syafi`i dan Hanbali) bahwa jual beli emas secara angsuran itu tidak boleh. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan beberapa ulama kontemporer, jual beli emas secara angsuran itu hukumnya bole. Dari beberapa perselihan ini disimpulkan berdasarkan pendapat terkuat bahwa boleh jual beli emas dengan angsuran karena emas adalah barang, bukan harga uang.
Sumber: Berbagai sumber