REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Syariah Indonesia (Tbk) sepekan terakhir disibukkan dengan upaya perbaikan sistem akibat serangan ransomware. Sejak awal pekan lalu, nasabah tidak bisa menggunakan sejumlah layanan ATM dan aplikasi mobile banking.
Serangan ransomware ternyata tidak hanya dialami oleh bank di Indonesia. Uni Emirat Arab (UEA) setiap hari dipaksa untuk mencegah 50 ribu serangan dunia maya, mulai dari ransomware hingga terorisme dunia maya.
“Dan jumlah itu terus meningkat,” kata Kepala Keamanan Siber Pemerintah UEA Mohamed Al Kuwaiti dilansir Zawya, Jumat (12/5/2023).
Menurut laporan tahun 2021 oleh perusahaan keamanan siber Cybereason, perusahaan di UEA telah membayar lebih dari 1,4 juta dolar AS atau sekitar Rp 20,8 miliar untuk mendapatkan kembali akses ke sistem mereka dalam dua tahun terakhir. Sekitar 42 persen dari perusahaan-perusahaan tersebut harus menutup operasi setelah serangan ransomware.
Menurut Al Kuwaiti, kurangnya sumber daya dan kesadaran masyarakat adalah alasan utama mengapa serangan terjadi. Adopsi yang tinggi dan cepat terhadap transformasi digital tidak diiringi dengan tindakan keamanan.
Al Kuwaiti mengatakan, pelanggaran data telah merugikan entitas di UEA hingga 5 juta dolar AS belakangan ini. Namun, salah satu bank di UEA berhasil menggagalkan serangan ramsomware dan bisa kembali beroperasi dalam waktu kurang dari tiga jam.
Al Kuwaiti menjelaskan, UEA telah berkomitmen untuk menjadi pusat data untuk Timur Tengah pada 2031. Untuk menghadapi ancaman serangan siber, Pemerintah UEA meluncurkan inisiatif Cyber Pulse sebagai antisipasi awal melawan serangan semacam itu.
Cyber Pulse adalah inisiatif yang diluncurkan oleh pihak berwenang, yang bertujuan mendorong anggota komunitas di UEA untuk berperan dalam upaya keamanan siber. Inisiatif ini menyediakan kursus pelatihan, lokakarya tentang keamanan siber, dan cara melindungi diri dari serangan siber.