Berbeda halnya dengan kasus seorang laki-laki yang menzinai perempuan dan ia ingin menikahinya, maka itu boleh berdasarkan hadis riwayat ‘Aisyah, ketika Rasulullah saw, ditanya tentang seseorang yang berzina ingin menikahi wanita yang dizinai sebagai berikut,
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ زَنِى بِاِمْرَأَةِ, وَأَرَادَ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا فَقَالَ وَالحَرَامُ لَا يُحَرِّمُ الحَلَالَ [أخرجه الطبراني والدارقطني].
Dari ‘Aisyah (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw ditanya tentang laki-laki yang berzina dengan perempuan, dan ia ingin menikahinya, maka beliau bersabda: Yang haram itu tidak mengharamkan yang halal [H.R. ath-Thabarani: 7224 dan ad-Daruqutni: 3680].
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ ذَاكَ, فَقَالَ: أَوَّلُهُ سِفَاحٌ وَآخِرُهُ نِكَاحٌ [رواه أبو شيبه و عبد الرزاق].
Dari Ibnu Abbas (diriwayatkan) sesungguhnya ditanya tentang hal itu (laki-laki pezina yang mau menikah): maka ia menjawab: Permulaannya perzinaan, dan akhirnya adalah pernikahan [H.R. Abu Syaibah: 16773 dan ‘Abdur-Razzaq: 12785].
Dengan demikian, jika diketahui mantan pezina tersebut telah bertaubat dan menyesali perbuatannya serta telah menjalankan ibadah dengan baik dan beramal saleh, kemudian ia berniat untuk mengadakan sebuah pernikahan, maka kepada calon wanita yang ingin dipinang halal menerima pinangan tersebut. Di samping kebolehan karena ia benar-benar sudah bertaubat, ditambah juga adanya musyawarah dalam keluarga untuk membahas apakah pinangan tersebut tetap dilanjutkan atau dibatalkan. Tak mengapa jika pertunangan itu tetap dilanjutkan, dengan syarat wanita harus bisa menerima, rela dan ikhlas dengan apa yang dulu pernah terjadi.