Ahad 07 Feb 2021 10:37 WIB

Apa Saja Ucapan-Ucapan yang Termasuk Nadzar?

Apakah nadzar merupakan sesuatu yang penting dalam pandangan Nabi Muhammad?

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Ucapan-Ucapan yang Termasuk Nadzar | Suara Muhammadiyah

Kedua, nadzar adalah suatu ibadah yang telah lama dilakukan orang-orang terdahulu. Nadzar itu disyariatkan, namun tidak digalakkan. Hal ini karena nadzar menunjukkan kekikiran orang yang bernadzar. Orang yang mau melakukan ketaatan atau kebajikan hendaknya melakukannya saja tanpa harus dengan nadzar. Syarat-syarat orang yang bernadzar adalah berakal, baligh, dan suka rela (tidak dipaksa), sesuai dengan hadis,

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّذْرِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ [رواه البخاري ومسلم].

Dari Ibnu Umar r.a. (diriwayatkan), ia berkata, Nabi saw melarang nadzar dan bersabda, sesungguhnya ia tidak menolak apa pun (takdir) dan hanya saja ia dikeluarkan dari orang yang kikir [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Nadzar dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut.

Nadzar wajib dipenuhi atau dilaksanakan  jika merupakan ketaatan kepada Allah dan  Rasul-Nya. Contohnya, bernadzar shalat  di masjid jika hajatnya terkabulkan, atau bernadzar memberi makan anak yatim jika mendapat rezeki yang melimpah. Jika nadzar ini tidak dilaksanakan, maka orang yang bernadzar terkena kafarat. Nadzar atas sesuatu yang mubah atau halal, seperti bernadzar memakai baju baru ketika pergi ke kantor atau bernadzar mengendarai mobil untuk pergi ke masjid jika bisa membeli mobil, maka nadzar ini juga wajib dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan terkena kafarat.

Kafarat nadzar  sama dengan kafarat sumpah, yaitu memberi makan kepada sepuluh orang  miskin dengan makanan yang biasa diberikan kepada keluarga, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan hamba sahaya. Jika semua itu tidak bisa dilakukan, maka ia wajib berpuasa tiga hari,  baik secara berturut-turut maupun tidak.

Tapi jika nadzar itu merupakan kemaksiatan atau kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka nadzar tersebut tidak wajib dilaksanakan. Contohnya, bernadzar  minum arak jika lulus ujian atau bernadzar menyakiti seseorang atau akan meninggalkan shalat jika naik pangkat/jabatan.

Terkait dengan pertanyaan Ibu, perlu dipahami lagi bahwa salah satu tujuan berumah tangga atau pernikahan adalah memiliki anak. Jika tidak mau hamil yang tentunya berakibat tidak memiliki anak, maka justru tidak sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri. Apalagi ketidakmauan itu hanya dari salah satu pihak saja dan dengan alasan yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Oleh sebab itu, jika perkataan tersebut termasuk nadzar, maka sebenarnya termasuk nadzar atas sesuatu yang tidak baik, sehingga tidak perlu dilakukan. Perkataan yang Ibu ucapkan tersebut juga bisa bermakna ancaman kepada suami atau setidaknya untuk menakut-nakuti suami agar melaporkan pernikahannya dengan Ibu ke pihak yang mengurus dana pensiun dari almarmuhah istrinya.

Sebenarnya, dalam rangka amar makruf nahi munkar, memang sudah menjadi kewajiban Ibu untuk mengingatkan agar suami segera mengurus pemberhentian penerimaan dana pensiun tersebut, karena dana pensiun itu sudah bukan haknya. Dalam pandangan Islam, mengambil barang yang bukan haknya dapat dikategorikan kepada perbuatan ghasab yang haram hukumnya. Bahkan, sesuai dengan Undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun, dana pensiun yang diambil tersebut wajib untuk dikembalikan karena merupakan kelebihan pembayaran.

Tetapi, sebisa mungkin hal itu dilakukan dengan cara yang bijaksana dan mengedepankan prinsip musyawarah supaya suami tidak merasa tersinggung dan tidak perlu dengan mengucapkan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Adapun bila suami masih belum mau melakukannya, maka setidaknya kewajiban Ibu untuk mengingatkan sudah terlaksana, mengenai hasilnya tentu Allah lah yang menentukan. Ibu sebaiknya lebih banyak bersabar, berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah agar suami segera diberi petunjuk dengan tetap menasihati secara bijak dan makruf. Allah swt berfirman,

وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ [العصر، 103: 1-3].

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran [QS. al-Ashr (103): 1-3].

Jika persoalannya karena suami hanya enggan mengurusnya, apabila memungkinkan Ibu dapat saja membantu suami untuk melaporkan tentang perubahan status duda suami Ibu yang telah menikah lagi dengan Ibu kepada pihak pemberi pensiun, sehingga dana pensiun yang sudah tidak menjadi haknya tersebut dapat segera dihentikan.

Namun demikian perlu diketahui bahwa masalah dana pensiun ini sebenarnya telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1969 tentang Pensiun Pegawai dan Pensiun Janda/Duda Pegawai. Pada Pasal 28 ayat 1 UU tersebut disebutkan, “Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda yang tidak mempunyai anak, dibatalkan jika janda/duda yang bersangkutan nikah lagi, terhitung dari bulan berikutnya perkawinan itu dilangsungkan”. Sementara itu, dalam Penjelasan atas Pasal 28 ayat 1 itu disebutkan, “Pensiun-janda/duda atau bagian pensiun-janda yang diberikan kepada janda/duda menurut ketentuan ayat (1) Pasal 28 tidak dibatalkan jika janda/duda masih mempunyai anak”.

Dengan demikian, jika memang suami Ibu tidak mempunyai anak dari istri sebelumnya yang telah meninggal dunia, maka dana pensiun itu memang bukan haknya, sehingga setelah menikah lagi semestinya dihentikan. Tetapi jika dari istri sebelumnya itu suami Ibu mempunyai anak, maka dana pensiun tersebut tetap menjadi haknya, dengan catatan sebagai nafkah untuk anaknya, meskipun suami Ibu telah menikah dengan Ibu.

Demikian jawaban kami, semoga dapat memberi solusi atas pertanyaan yang Ibu sampaikan.

Wallahu a‘lam bish-shawab

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 18 Tahun 2020

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement