Kamis 13 Mar 2014 19:35 WIB

Mewaspadai Investasi 'Abal-Abal'

INVESTASI(illustrasi)
INVESTASI(illustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum Wr Wb

Salam kenal Mas Hari ‘Soul’ Putra. 

Hampir tiap tahun saya selalu mendengar kejadian investasi bodong alias investasi abal-abal.  Menarik di awal, tetapi ujungnya selalu apes, khususnya yang mendaftar terakhir.  Ada bahkan yang bertahan hingga 3 tahun, sebelum akhirnya ketahuan juga belangnya.

Begitu saya search di google, kejadian ini tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga di luar negeri.Pertanyaan saya, bagaimana mewaspadai suatu investasi agar tidak disebut investasi abal-abal alias investasi bodong?

Sekian dan terima kasih

Wassalamu’alaikum Wr Wb

Jawaban WF 19

Wa’alaikum Salam Wr Wb Salam kenal kembali Mas Usman :-)

Selalu menarik berbicara tentang investasi, apalagi jika kita langsung bisa merasakan uangnya.

Ketika seorang teman atau saudara mengajak kita untuk berinvestasi, selalu janji manis yang lebih ditonjolkan ketimbang resikonya.

Dan pada dasarnya, otak manusia memang dikondisikan untuk meraih kesenangan dan menolak sengsara.  Mau hasil maksimal, tetapi dengan berkorban seminim mungkin, bila perlu tidak perlu berkorban.

Ini yang sering saya katakan, fenomena ingin kaya mendadak dan serakahnya manusia.

Investasi adalah menyisihkan sebagian penghasilan untuk masa depan dan BERTUMBUH.  Atau tindakan yang Anda lakukan dengan aset Anda untuk mendapatkan imbal hasil (return) keuangan di masa depan.

Adapun alasan orang untuk berinvestasi adalah :

1.    Mempertahankan nilai aset terhadap inflasi

Jika rata-rata inflasi 10 persen per tahun, maka dengan berinvestasi kita berharap imbal hasilnya di atas 10 persen.

Secara umum inflasi adalah naiknya harga barang karena berlebihnya suplai uang.  Menurut Taqiudin Ahmad bin Ali Al Maghrizi (1364-1441 M), muridnya Ibnu Khaldun (Bapak Sosiologi Islam), inflasi terbagi 2 yaitu inflasi bersifat natural atau alami akibat berkurangnya persediaan barang, contohnya faktor kekeringan  dan peperangan.

 

Yang kedua inflasi akibat kesalahan manusia seperti korupsi dan administrasi pemerintahan  yang buruk, pajak berlebihan yang membebani pelaku usaha dan jumlah ‘uang buruk’ alias uang kertas (dulu fulus/uang tembaga, bukan dinar emas atau dirham perak) tanpa backup komoditas seperti emas, gandum dan sebagainya.

Jika dahulu uang itu disebut dinar emas dan dirham perak, hingga tahun 1944-1971 negara-negara di dunia pasca perang dunia ke-2 membuat sebuah kesepakatan di Hotel Mount Washington, Bretton Woods, New Hampshire, AS, yang dikenal Bretton Woods Agreement yang ditandatangani oleh 730 orang wakil dari 44 negara di dunia.  Masa itu dikenal sebagai fixed exchange rate hingga munculnya Nixon Shock pada 15 Agustus 1971 oleh Presiden Amerika, Richard Milhous Nixon yang menandai berakhirnya era Bretton Woods serta ditetapkannya Smithsonia Agreement oleh Negara-negara Industri G10 pada 18 Desember 1971 menuju floating exchange rate hingga hari ini.

2.    Mendapatkan income fixed atau kenaikan modal

Dengan berinvestasi jika tidak mendapatkan arus kas (income) tentu kenaikan modal yang kita investasikan.  Misalnya untuk arus kas seperti pada produk deposito dan obligasi yang memberikan imbal hasil atau bunga.

Kendati demikian, produk-produk deposito juga mengandung resiko, untuk deposito di atas Rp 2 miliar, tidak lagi diproteksi oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).  Artinya uang Anda bisa ‘hilang’ juga.

Apalagi obligasi atau surat utang, tidak ada jaminan kepastian pemerintah yang berkuasa pasti stabil kekuasaannya yang selalu bisa memberikan kupon/bunga.

3.    Mencapai tujuan keuangan tertentu

Contohnya jika Anda ingin pensiun 15 tahun lagi dan ingin mempersiapkan dana pensiunnya, maka berinvestasi mulai dari hari ini.

4.    Meningkatkan dan mendistribusikan kekayaan

Investasi tidak hanya bersifat jangka pendek, menengah atau panjang saja tetapi juga menyentuh dimensi akhirat (investasi abadi) bahkan hasil investasi ini bisa terus diwariskan untuk anak cucu kita.

Setelah kita tahu alasan orang untuk berinvestasi, maka ada 7 cara untuk mewaspadai investasi bodong alias investasi abal-abal.

Tetapi sebelumnya, mari kita lihat kembali seperti apa bentuk-bentuk investasi bodong atau abal-abal tersebut.

Di Indonesia tahun 80-an ada gelombang penipuan investasi ala arisan berantai Danasonic, Susu Atena, arisan YKAM (Yayasan Kesejahteraan sosial Adil Makmur) Ongkowijoyo dan lain-lain.

Tahun 90-an ada Kospin di Pinrang Makasar, QSAR (PT Qurnia Subur Alam Raya) dan lain-lain.

Tahun 2000 ke atas ada Koperasi Langit Biru (KLB) yang memakan korban banyak orang, dan terakhir heboh perdagangan emas ala GTIS dan yang terjadi di awal tahun 2014 ini CV Panen Mas yang bergerak dibidang pengembangbiakan ayam super, burung puyuh dan singkong.

Terlepas dari kehebohannya, bisa jadi awalnya perusahaan investasi tersebut sehat dan riil, benar-benar ada.  Misalnya untuk pembangunan SDA (Sumber Daya Alam) yang bernilai tinggi seperti minyak bumi, gas alam, mineral pertambangan, real estat, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan sebagainya tetapi akhirnya akibat keserakahan si pemilik dan pengurusnya (bisa jadi juga awalnya sudah berniat menipu) telah melipatgandakan nilainya (overvalued) hingga menjadi aset khayalan (bodong).

Contohnya dari 10 orang investor masing-masing menanam modal Rp 100 juta, dengan aset Rp 1 miliar  (artinya ketika bangkrut sekalipun, masih ada ‘agunan’ yang bisa dibagi-bagi seharga kurang lebih Rp 100 juta).

 

Pertanyaanya, jika investornya sudah lebih dari 100 orang, sementara aset serta perkembangan usahanya MACET, muncullah penipuan (baik disengaja atau tidak sengaja).

Cara mewaspadainya dengan melihat ciri-ciri sebagai berikut  :

1.    Return (imbal hasil) terlalu tinggi misalnya 4,5 persen per bulan (54 persen per tahun) tanpa Anda ikut terlibat menjalankan operasionalnya, yang melebihi rata-rata kenaikan emas dan saham, kecuali Anda terlibat langsung di bisnis tersebut yang resikonya juga besar

2.    Return fix (tetap).  Padahal kita tahu dan sadar tidak ada yang bisa memastikan pendapatan pasti, selalu ada resiko, bisa untung atau rugi

3.    Pencantuman tokoh yang berpengaruh, misalnya tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan, penasehat keuangan, Ustadz, Kyai.

4.    Legalitas tidak jelas, Tidak ada legalitas yang jelas yang dikeluarkan sebuah institusi/badan regulasi dari sebuah pemerintahan, misalnya perizinan untuk perbankan ke BI (Bank Indonesia) dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) yang cakupannya lebih luas seperti pengawasan pasar modal, perbankan, dan industri keuangan non bank seperti asuransi,multi finance, pegadaian, investasi dan dana pensiun.

Bapebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi) dan kementerian perdagangan untuk produk berjangka dan investasi forex dll, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) untuk multilevel investasi, Kementerian koperasi yang mensupervisi koperasi termasuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

5.    Ownership tidak jelas (track record pemilik dan pengurusnya) yang tiba-tiba muncul, lalu cepat sekali menghilang (raib).

6.    Skema piramida (yang mendaftar duluan untung, yang terakhir selalu rugi).  Ini biasanya efek viral dan mouth to mouth.

7.    Tanda-tanda mencurigakan seperti (return tidak wajar, gala dinner mahal di hotel-hotel mewah dan menyebar secara cepat).

Paling tidak ada 7 hal di atas yang perlu kita waspadai dan sikap yang diperlukan oleh Anda adalah untuk selalu WASPADA pada setiap situasi. Ketika bicara tentang uang, tetap kalem dan bijaksana, gunakan hati jernih dan akal sehat, tidak semata emosional.

Wallahu’alam Bishowab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement